[iklan]

Langkah Besar, Kusuma dan Kelas Teknik (Part 2)

 


Cerita Bersambung: Kusuma dan Kelas Teknik (Part 2)

Pagi itu, langit di atas sekolah Kusuma tampak cerah, meskipun angin sejuk berhembus dari arah timur. Semuanya berjalan biasa—seperti hari-hari biasa yang penuh dengan harapan dan ketegangan. Tetapi untuk Kusuma, hari itu terasa berbeda. Kelas teknik yang baru dimulai kemarin seolah menjadi titik balik. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di bengkel, ia merasa sesuatu yang lebih dari sekadar belajar mesin. Ini adalah tempat di mana ia bisa menemukan sisi lain dari dirinya, sisi yang penuh tawa, kekonyolan, dan tantangan yang tak terduga.

Di ruang kelas, Kusuma tidak sendirian. Di sampingnya, ada Widi, sahabatnya yang selalu penuh dengan komentar dan canda tawa. Widi ini orangnya tak pernah bisa diam, selalu mengeluarkan opini—baik itu penting atau tidak—tapi meski begitu, Kusuma selalu merasa senang berada di dekatnya. Mereka telah melalui banyak hal bersama, mulai dari ujian matematika yang membuat pusing kepala, hingga mengejar-ngejar guru olahraga yang kesal karena mereka selalu terlambat datang.

Setelah pelajaran pertama yang penuh canda tawa kemarin, hari ini, Kusuma sudah lebih siap menghadapi segala kemungkinan. Widi sudah mulai berbicara tentang mesin bubut, alat potong yang besar itu, dan bagaimana caranya menggunakannya dengan benar tanpa terluka. "Pokoknya, jangan pernah duduk dekat mesin kalau kamu belum tahu apa-apa," kata Widi. "Aku sih lebih suka di belakang mesin, jauh dari bahaya." Kusuma hanya mengangguk, meskipun dia tidak benar-benar mengerti apa yang Widi maksudkan.

"Su, kamu tahu nggak kalau Pak Budi itu bisa jadi stand-up comedian kalau mau?" Widi melanjutkan, meskipun topik obrolannya sekarang agak bergeser.

"Serius? Dia kan cuma guru teknik," jawab Kusuma dengan senyum.

"Yah, bisa aja, coba lihat aja nanti, deh," kata Widi sambil menatap ke arah pintu kelas, yang tiba-tiba terbuka.

Pak Budi, dengan perut yang sedikit membuncit dan rambut hitam yang sudah mulai memutih di beberapa bagian, masuk ke dalam ruangan dengan langkah besar. Di tangannya, ada sebuah papan tulis kecil, dan di atasnya tertulis beberapa kata yang sangat tidak biasa.

“Selamat pagi, anak-anak! Hari ini, kita akan mulai serius! Jangan khawatir, Pak Budi tidak akan membuat kalian menjadi insinyur mesin dalam sehari—tapi kita bisa mulai dengan dasar-dasar yang penting. Siapa yang tahu apa itu perbedaan antara mesin dan alat?” Pak Budi bertanya dengan penuh semangat.

Semua mata langsung tertuju pada papan tulis. Semua siswa di kelas diam sejenak, berusaha mencerna pertanyaan tersebut. Kusuma menoleh ke Widi, yang sepertinya sudah siap memberikan jawaban dengan nada bercanda.

“Apa ya, Pak Budi? Mesin itu… ya, yang bisa bikin kopi,” jawab Widi sembarangan.

Beberapa teman di belakang tertawa, dan Pak Budi hanya tersenyum. “Tepat sekali! Mesin itu bisa membuat kopi, bisa membuat kalian jadi lebih bersemangat, dan bisa membuat kalian berpikir tentang hal-hal besar dalam hidup. Tapi, ingat, jangan pernah jadi mesin yang hanya bekerja tanpa berpikir!” Pak Budi melanjutkan.

Kusuma merasa sedikit bingung. Dia datang ke kelas ini dengan harapan bisa belajar cara memperbaiki mesin dan mempelajari teknik yang bisa membantunya kelak di masa depan, namun di hari kedua, malah disuguhi filosofi tentang mesin dan kehidupan. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang menyenangkan dalam cara Pak Budi mengajarkan hal-hal yang sederhana dengan cara yang tidak biasa.

Hari itu, Pak Budi membawa mereka ke bengkel untuk melihat mesin bubut yang besar. “Ini dia, mesin bubut! Mesin yang bisa mengubah benda menjadi bentuk apa saja yang kalian inginkan. Tapi, jangan salah, meskipun kelihatannya simpel, butuh ketelitian dan konsentrasi tinggi untuk mengoperasikannya,” jelas Pak Budi.

Mata Kusuma langsung tertuju pada mesin yang sangat besar itu. Mesin bubut tersebut tampak seperti sesuatu yang bisa mengubah logam menjadi benda yang sangat halus dan presisi. Namun, Kusuma tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan mesin itu.

“Coba kalian pegang ini, Su,” Pak Budi tiba-tiba menyodorkan salah satu alat potong yang terbuat dari baja. “Ini namanya pahat. Kalian harus hati-hati, karena pahat ini sangat tajam. Kalau sampai salah pegang, bisa-bisa tangan kalian jadi korban.”

Kusuma mengangguk, agak sedikit terkejut dengan cara Pak Budi yang serius, tapi tidak bisa menahan tawa yang terpendam di dalam dirinya. Betapa tidak, Pak Budi baru saja bicara soal keselamatan dengan ekspresi serius, namun wajahnya tetap mengandung gurauan.

Setelah mengatur posisi alat dengan hati-hati, Pak Budi memberi penjelasan lebih lanjut. “Sekarang, kita akan belajar cara memotong logam dengan mesin ini. Tapi ingat, jangan sampai tergesa-gesa. Kalau ada yang salah, akan sulit untuk memperbaikinya.”

Kusuma mendekatkan dirinya ke mesin dan mulai mencoba memegang pahat dengan cermat. Tangan kirinya memegang alat dengan mantap, sementara tangan kanannya mengoperasikan pengatur kecepatan mesin. Dengan perlahan, pahat itu mulai menyentuh logam, dan Kusuma bisa merasakan getaran halus yang mengalir ke tangannya. Saat pertama kali logam mulai terpotong, ia merasa seperti sedang menyentuh dunia yang sama sekali baru.

Namun, tidak semua berjalan mulus. Seiring dengan berjalannya waktu, beberapa temannya mulai merasa frustrasi. Widi yang awalnya yakin akan menguasai mesin bubut itu, kini terlihat cemas setelah beberapa kali salah memotong. “Pak, kok susah banget ya?” keluh Widi, yang tampak kelelahan.

“Widi, Widi, kamu harus sabar. Mesin itu seperti hati manusia. Kadang kita harus pelan-pelan, mendengarkan dan merasakannya,” jawab Pak Budi sambil tertawa. “Kalau kamu terlalu cepat, ya, mesin ini akan balik ke kamu!”

Semua orang tertawa, termasuk Widi yang merasa sedikit lebih tenang setelah candaan Pak Budi. Kusuma pun merasa lebih rileks, meskipun tantangan yang dihadapinya tak kalah berat. Ia mulai terbiasa dengan suara mesin yang berdengung, dan mulai belajar mengatur potongan dengan lebih tepat.

Namun, suasana kelas yang awalnya serius berubah lagi. Pak Budi kembali melontarkan guyonannya. “Nah, kalau kalian belum paham, jangan khawatir, kita akan coba lagi besok. Tapi ingat, jangan sampai logam ini justru menjadi masalah yang menambah panjang daftar utang kalian!”

Pak Budi terus berbicara tentang tantangan dan peluang yang ada dalam dunia teknik, namun semuanya disampaikan dengan cara yang ringan dan lucu. Kusuma tidak hanya belajar soal mesin, tetapi juga belajar bagaimana menghadapi kegagalan dengan tawa. Di dunia teknik, seperti di dunia nyata, kesalahan adalah bagian dari proses, dan yang terpenting adalah bagaimana kita belajar dari kesalahan itu.

Hari itu berakhir dengan penuh tawa. Kusuma, yang awalnya merasa cemas tentang bagaimana dia akan menghadapinya, sekarang merasa lega. Ia tahu bahwa perjalanan di kelas teknik ini tidak akan selalu mudah, tetapi selama ada humor dan semangat untuk belajar, semuanya akan terasa lebih ringan.

Sesampainya di rumah, Kusuma duduk di meja belajarnya, memikirkan kembali pelajaran hari itu. Mesin bubut, pahat, dan alat-alat lainnya—semuanya mulai terasa lebih familiar. Tapi lebih dari itu, ia merasa semakin yakin bahwa ia berada di tempat yang tepat. Hari pertama mungkin penuh dengan kebingungan, tapi hari kedua menunjukkan banyak hal yang lebih dari sekadar ilmu teknik. Ini adalah pelajaran tentang hidup, tentang kegigihan, dan yang paling penting, tentang tawa yang bisa membuat segala sesuatunya terasa lebih ringan.

“Besok aku pasti lebih siap,” pikir Kusuma sambil tersenyum, menatap langit malam yang penuh bintang.

0 komentar


. . .
 
© 2011 - | Buku PR, TUGAS, dan Catatan Sekolah | www.suwur.com | pagar | omaSae | AirSumber | Bengkel Omasae, | Tenda Suwur | Versi MOBILE