DEMOKRASI ITU CURANG
Oleh : Nasrudin Joha
Publik dihebohkan dengan keterangan Hairul Anas Suaidi, salah seorang saksi yang dihadirkan tim hukum Prabowo-Sandi yang juga caleg PBB, ihwal keterangan yang menyeret nama Moeldoko di persidangan sengketa pilpres yang digelar di MK. Saat mengikuti pelatihan ketika dirinya masih menjadi caleg dari PBB, Anas mengatakan Moeldoko pernah memberi materi yang isinya menyatakan kecurangan adalah bagian dari demokrasi.
Partai Bulan Bintang (PBB) melalui Ketua Bidang Pemenangan Presiden PBB Sukmo Harsono, menyesalkan keterangan Anas Tersebut. PBB mengklaim Anas merupakan salah satu orang yang setuju dengan pencalonan Jokowi sebagai capres yang didukung mereka.
Sukmo menyebut kesaksian Anas di sidang MK patut diragukan dari sisi kejujuran lantaran membocorkan amanah yang sempat diterimanya saat pelatihan saksi 01 setelah diangkat sebagai relawan tim IT BPN pascapemilu. Masih menurut Sukmo, Anas diragukan kejujurannya karena tidak taat asas menyimpan amanah sebagai saksi sehingga apa yang disampaikan saya sinyalir telah melalui proses briefing dan pengkondisian untuk memberi keterangan yang tidak sesuai prinsip seorang saksi, mengingat dia lakukan setelah pencoblosan.
Aneh, orang jujur atas adanya kecurangan dianggap tidak amanah. Mungkin, jika Anas mengunci mulut dan menutup aib demokrasi, PBB baru menggelari Anas amanah dan dapat dipercaya keterangannya.
Sementara itu, banyak kalangan justru mendukung keterangan Anas dan menyayangkan sikap Moeldoko yang tidak ksatria dalam melakukan kontestasi. Asas pemilu yang LUBER dan JURDIL, ternyata hanya secara teori.
Bagi sebagian kalangan yang lain, nampaknya tidak terlalu terkejut dengan apa yang diungkap Anas ini. Karakter dan tabiat dasar demokrasi memang curang, sehingga pernyataan Moeldoko yang menyebut 'kecurangan adalah bagian dari Demokrasi' merupakan pernyataan yang jujur, faktual, dan berkesesuaian dengan hakekat dan substansi demokrasi.
Mari kita periksa kecurangan-kecurangan demokrasi :
Pertama, kecurangan yang paling mendasar adalah klaim demokrasi dalam aspek filosofis yang menyebut kedaulatan ada ditangan rakyat, bahkan hoax yang lebih fasih dari itu yakni yang menyebut suara rakyat suara Tuhan.
Faktanya, demokrasi sejujurnya telah meletakan kedaulatan ditangan kapital. Suara kapital adalah suara Tuhan. Kapital-lah, yang memiliki peran untuk memferifikasi siapa yang bisa menjadi calon pemimpin, siapa yang dipilih menjadi pemimpin, dan atas dasar kepentingan apa seseorang memimpin.
Saat pencalonan, hanya orang berkapital yang memadai, baik dengan membiayai sendiri atau dibiayai cukong kapital lainnya, yang bisa menjadi calon pemimpin. Sistem pemilu yang ribet, berbiaya mahal, memustahilkan seorang yang jujur dan amanah maju menjadi calon pemimpin, jika tidak memiliki modal.
Saat pemilihan, kapital adalah asas yang menentukan elektabilitas. Baik secara alami 'membeli elektabilitas melalui tebar pesona dan tebar uang' atau merampok elektabilitas dengan langsung 'membeli kertas suara'. Kasus ditemukannya banyak amplop serangan fajar Bowo Sidik Golkar dan tertangkapnya pencoblosan surat suara diluar jadwal pemilu di Malaysia, adalah bukti kongkritnya.
Kedua, kecurangan demokrasi dalam aspek praktis terletak dimana ketika seorang pemimpin telah berkuasa, orientasi politiknya bukan lagi demi dan untuk rakyat. Namun, demi dan untuk kepentingan para kapitalis.
Saat kampanye, semua calon berbusa menyatakan akan ini itu, menolak kenaikan BBM, menolak utang, menolak intervensi asing, akan menyejahterakan rakyat, dll.
Begitu menjadi pemimpin, visi pertama pemimpin adalah memikirkan modal politik baik dari kantong pribadi maupun investasi para cukong. Mulailah, pemimpin ini mengkreasi banyak Projek yang berdalih untuk kepentingan rakyat, padahal sejatinya adalah bisnis balas Budi kepada para cukong untuk mengembalikan modal berikut laba investasi politiknya.
Ketiga, aspek kontrol kekuasaan dimana demokrasi mengklaim dapat mengoreksi pemimpin selama lima tahun sekali. Faktanya, pemimpin yang telah berkuasa biasa untuk curang dengan menyalahgunakan kekuasaanya, sehingga proses kontrol rakyat terhadap pemimpin terganjal oleh manuver politik pemimpin incumbent yang ingin terus berkuasa.
Sesunggunya, yang mengontrol kekuasan bukan rakyat tetapi para kapitalis. Saat Soeharto jatuh, itu bukan dijatuhkan rakyat tetapi oleh para kapitalis global yang kepentingannya terusik, dan mulai melihat Soeharto tidak bisa mengamankan kepentingan politik mereka karena digerogoti ketidakpercayaan rakyat.
Demo rakyat hanya alasan saja, sebab utamanya Soeharto sudah tidak dikehendaki kapitalisme barat, khususnya Amerika.
Berbeda dengan kasus Jokowi, meskipun didemo rakyat, dengan jumlah yang jauh lebih besar ketimbang demo era Soeharto, sudah tidak diinginkan rakyat melalui Pilpres, namun tetap saja Jokowi berkuasa. Karena barat, Amerika dan China, masih tetap melihat sosok Jokowi setia melayani kepentingan kapitalis, meskipun telah keropos legitimasi kekuasaannya, dan barat belum menemukan sosok antek pengganti.
Karena itu, wahai umat Islam segera tinggalkanlah demokrasi. Anda baru bermimpi sampai ke tampuk kekuasaan melalui demokrasi, dan berhalusinasi akan menerapkan Islam setelah berkuasa.
Padahal, Mursi dan ihwanul muslimin di Mesir terlah berkuasa. Faktanya, demokrasi curang dan mengkudeta kekuasan Mursi. Bahkan, mursi ditangkap, dipenjara, hingga Syahid dalam persidangan majelis Tiran.
Partai Reffah, partai FIS Aljazair, Partai Hammas Palestina, juga telah sampai pada tampuk kekuasaan melalui Demokrasi. Namun, karena mengancam kepentingan kapitalis penjajah, demokrasi lagi-lagi curang dan mengkudeta kekuasaan mereka.
Karena itu, jika Anda komitmen dengan perjuangan Islam, murni menginginkan Islam kembali berkuasa, Tinggalkanlah demokrasi. Segera, ittiba' pada thariqah dakwah Nabi, dengan berjuang menegakan sistem khilafah 'ala minhajin Nubuwah. Allahu Akbar ! [].