Kāfir (bahasa Arab:
كافر kāfir; plural كفّار kuffār) secara harfiah berarti orang yang
menutupi, menyembunyikan sesuatu, atau menyembunyikan kebaikan yang
telah diterima atau tidak berterima kasih atau mengingkari kebenaran.
Dalam al-Quran, kata kafir dengan berbagai bentuk kata jadinya
disebut sebanyak 525 kali. Kata kafir digunakan dalam al-quran
berkaitan dengan perbuatan yang berhubungan dengan Tuhan, seperti :
1) Mengingkari nikmat Tuhan dan tidak berterima kasih kepada-Nya (QS.16:55, QS. 30:34)
2) Lari dari tanggung jawab (QS.14:22)
3) Menolak hukum Allah (QS. 5;44)
4) Meninggalkan amal soleh yang diperintahkan Allah (QS. 30:44)
Dalam terminologi kultural kata ini digunakan dalam agama Islam untuk merujuk kepada orang-orang yang mengingkari nikmat Allah (sebagai
lawan dari kata syakir, yang berarti orang yang bersyukur). Namun yang
paling dominan, kata kafir digunakan dalam al-Quran adalah kata kafir
yang mempunyai arti pendustaan atau pengingkaran terhadap Allah Swt dan
Rasul-RasulNya, khususnya nabi Muhammad dan ajaran-ajaran yang
dibawanya.
Secara
istilah, kafir adalah orang yang menentang, menolak, kebenaran dari
Allah Swt yang di sampaikan oleh RasulNya. atau secara singkat kafir
adalah kebalikan dari iman. Dilihat dari istilah, bisa dikatakan bahwa
kafir sama dengan non muslim. Yaitu orang yang tidak mengimani Allah dan
rasul-rasul-Nya serta ajarannya.
Ditinjau
dari segi bahasa, kata kafir tidak selamanya berarti non muslim, karena
ada penggunaan kata kafir atau pecahan dari kata kafir seperti kufur,
yang bermakna inkar saja, tidak sampai mengeluarkan seseorang dari
keislaman. Contohnya kufur nikmat, yaitu orang yang tidak
pandai/mensyukuri nikmat Tuhan, atau dalam istilah lain disebut sebagai
kufrun duna kufrin (kekufuran yang tidak sampai membawa pelakunya
kafir/keluar dari islam).
Etimologi
Kāfir berasal dari kata kufur yang berarti ingkar,
menolak atau menutup. Pada zaman sebelum Islam, istilah tersebut
digunakan untuk para petani yang sedang menanam benih di ladang,
menutup/mengubur dengan tanah. Sehingga kalimat kāfir bisa dimplikasikan
menjadi "seseorang yang bersembunyi atau menutup diri". Dalam bahasa
Islam, kāfir sebuah kata yang digunakan untuk seseorang yang menolak
atau tidak memeluk agama Islam. Jadi menurut syariat Islam, manusia
kāfir terdiri dari beberapa makna, yaitu :
· Orang yang tidak beragama Islam atau orang yang tidak mau membaca syahadat.
· Orang Islam yang tidak mau shalat.
· Orang Islam yang tidak mau puasa.
· Orang Islam yang tidak mau berzakat.
Kata kāfir dalam Al-Qur'an
Di
dalam Al-Qur'an, kitab suci agama Islam, kata kafir dan variasinya
digunakan dalam beberapa penggunaan yang berbeda, diantaranya :
· Kufur at-tauhid (Menolak tauhid) :
Dialamatkan
kepada mereka yang menolak bahwa Tuhan itu satu. Sesungguhnya
orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau
tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (Al-Baqarah ayat 6)
· Kufur al-ni`mah (mengingkari nikmat) :
Dialamatkan
kepada mereka yang tidak mau bersyukur kepada Tuhan. Karena itu,
ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (la
takfurun). (Al-Baqarah : 152)
· Kufur at-tabarri (melepaskan diri) :
Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
"Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang
kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu (kafarna bikum)..." (Al-Mumtahanahayat 4)
· Kufur al-juhud :
Mengingkari
sesuatu maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka
ketahui, mereka lalu ingkar (kafaru) kepadanya. (Al-Baqarah ayat 89)
· Kufur at-taghtiyah: (menanam/mengubur sesuatu) :
Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu
yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta
berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani (kuffar). (Al-Hadid 20)
Jenis-jenis kafir
Merujuk
kepada makna bahasa dan beragam makna kafir dalam ayat al-Quran, Kafir
terbagi menjadi beberapa golongan, diantaranya adalah :
1) Kafir harbi, yaitu kafir yang memusuhi Islam. Mereka
senantiasa ingin memecah belah orang-orang mukmin dan bekerja sama
dengan orang-orang yang telah memerangi Allah dan RasulNya sejak dahulu
(QS. 9:107)
2) Kafir
’Inad, yaitu kafir yang mengenal Tuhan dengan hati dan mengakui-Nya
dengan lidah, tetapi tidak mau menjadikannya sebagai suatu keyakinan
karena ada rasa permusuhan, dengki dan semacamnya. Dalam
al-Quran mereka digambarkan seperti orang-orang yang mengingkari
tanda-tanda kekuasaan Allah, mendurhakai rasul-rasul Allah Swt, dan
menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang menentang
kebenaran (QS.11:59).
3) Kafir
inkar, yaitu yang mengingkari Tuhan secar lahir dan batin,
Rasul-rasulNya serta ajarannya yang dibawanya, dan hari kemudian. Mereka
menolak hal-hal yang bersifat ghaib dan mengingkari eksistensi Tuhan
sebagi pencipta, pemelihara dan pengatur alam ini. Mereka seperti
penganut ateisme. (QS. 2:212) (QS. 16:107).
4) Kafir kitabi. Kafir
kitabi ini mempunyai ciri khas tersendiri di banding dengan kafir-kafir
yang lain, karena kafir kitabi ini meyakini beberapa kepercayaan pokok
yang dianut Islam. Akan tetapi kepercayaan mereka tidak utuh, cacat dan
parsial. Mereka membuat diskriminasi terhadap rasul-rasul Allah dan
kitab-kitab suciNya, terutama terhadap Nabi Muhammad dan Al-Quran. Dalam
al-Quran mereka disebut sebagai ahlul kitab, Mereka adalah orang yahudi
dan nasrani.
Dilihat
dari macam-macam kafir di atas dan masih ada lagi beberapa istilah
kafir, maka kata kafir adalah istilah yang sangat umum, istilah bagi
orang yang mengingkari Allah dan RasulNya serta ajaran yang dibawanya,
mereka bisa dari kalangan yahudi, nasrani, ateis, majusi, hindu, budha,
konghuju dan yang lainya, yang tidak mengimani Allah dan Rasul-rasulnya
serta ajarannya. Mereka semua adalah non muslim.
Sebenarnya
jika mereka memahami arti dan konsekuensi dari kata non muslim, sama
saja mereka mendengar kata kafir secara istilah. Hanya mungkin
kedengarannya lebih halus, ketimbang disebut sebagai kafir.
Orang-orang kafir berakhlak mulia ?
Bisa
saja orang-orang kafir berakhlak baik, seperti jujur, tidak korupsi,
tidak berzina, berbuat baik dengan tetangga, menyantuni orang miskin,
dll. Namun akhlak baik itu tidak cukup untuk menghapuskan status dia
dari katagori orang kafir, manakala mereka tetap ingkar kepada Allah,
atau ingkar kepada rasul-rasulnya termasuk Nabi Muhammad dan ajarannya.
Dalam
al-Quran surat almaidah ayat 5: dihalalkan bagi
kalian.....perempuan-perempuan yang terjaga kehormatannya dari ahli
kitab (yahudi / nasrani). Artinya ada dari kalangan mereka yang secara
manusiawi melakukan akhlak atau perilaku yang baik.
Dalam
kehidupan sehari-hari, tidak seharusnya seorang muslim memanggil orang
kafir dengan sebutan kafir (wahai orang kafir), meskipun seorang muslim
wajib yakin bahwa orang selain islam adalah kafir karena al-Quran telah
jelas menyatakan hal itu.
Rasulullah
Saw dalam berinteraksi dengan orang-orang yahudi, atau orang musyrik,
kafir quraisy, yang mana mereka adalah golongan orang-orang kafir,
Rasulullah tidak memanggil dengan sebutan ”ya kafir”. Tapi beliau
menyebut misalnya orang yahudi, nasrani, qurays, bahkan ketika mengirim
surat ke raja romawi menggunakan kata-kata ”ya adhimu rum”.
Jadi
yang perlu di fahamkan adalah definisi kafir, katagori kafir dalam
Islam, dan ketika penyebutan kata-kata kafir, tidak selamanya mempunyai
konotasi beraklak buruk, jahat, dan sifat-sifat kotor lainnya. dan tidak
juga pelecehan nilai-nilai kemanusiaan, karena semua manusia adalah
ciptaan Allah. dan dari segi humanity semua manusia adalah saudara.
Akan tetapi penyebutan kata kafir lebih kepada masalah keimanan, dimana
mereka tidak mau mengimani Allah Swt sebagai Tuhan, dan Muhammad Saw
sebagai RasulNya serta mengingkari ajaran-ajarannya. Dan kafir secara
istilah sama saja dengan makna non muslim, artinya jika mereka rela
dipanggil non muslim, sebenarnya tanpa disadari mereka rela dipanggil
kafir dari perspektif islam.
Macam-Macam Kekafiran
Hadis
Jibril yang populer menyebutkan, agama terdiri dari tiga
tingkatan, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Ihsan mencakup Islam dan Iman.
Sedang Iman mencakup Islam, dan Islam sendiri menuntut dasar keimanan.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan bahwa dasar agama adalah pelaksanaan
Islam secara global dan menyatakan kepercayaan terhadap semua berita
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw berdasarkan keyakinan. Orang yang
melaksanakan dasar ini, sebagai langkah awal, ia telah dinyatakan Islam.
Jika kemudian diikuti dengan melaksanakan perintah-perintah agama dan
meninggalkan larangan-larangannya, serta tidak melakukan pelanggaran
yang berarti, maka keislamannya meningkat dan dapat berlanjut pada
kesempurnaannya dengan merealisasikan iman dan ihsannya.
Pengakuan
ini adalah dasar agama. Ketika iman terdiri dari pokok-pokok (ushul)
dan cabang-cabang (furu'), yaitu melakukan kewajiban-kewajiban
dan kebaikan-kebaikan serta meninggalkan larangan-larangan, maka
cabang-cabang ini tidak berarti apa-apa kecuali jika dasarnya telah
terlaksana. Maka orang yang berpaling dari dasar ini, pada kenyataannya
ia adalah kafir, meskipun ia melaksanakan cabang-cabang iman.
Demikian
juga kekafiran, ia terdiri dari pokok-pokoknya dan
bagian-bagiannya. Maka orang yang terjerumus ke dalam pokok kekafiran,
yaitu yang bertentangan dengan pokok iman dan hakikatnya, maka tidak
diragukan lagi bahwa ia adalah kafir. Adapun orang yang terjerumus ke
dalam bagian-bagian tertentu dari kekafiran yang tidak bertentangan
dengan pokok-pokok keimanan dan hakikatnya, sedangkan ia memiliki pokok
keimanan yang menetapkan keislamannya, maka ia tidak dapat diklaim
sebagai kafir.
Akan
tetapi, tindakannya yang melakukan bagian-bagian dari
kekafiran memberikan pengaruh pada cabang-cabang keimanan, dari segi
derajat keimanannya, sebagaimana dikemukakan oleh sebagian ulama salaf
ketika mereka ditanya mengenai sabda Rasul saw, "Tidak ada seseorang
yang berzina ketika dia dalam keadaan mukmin" mereka mengatakan bahwa
inilah Islam yang meliputi cakupan yang luas, sedangkan iman meliputi
cakupan kecil dalam lingkup yang besar. Maka, ketika seseorang berzina
atau mencuri, ia keluar dari lingkaran iman masuk ke lingkaran Islam,
tetapi tidak mengeluarkannya dari Islam kecuali jika ia mengingkari
Allah SWT.
Oleh
karena itu, hilangnya keislaman seseorang mengharuskan
hilangnya keimanan darinya, berbeda dengan hilangnya keimanan seseorang
tidak mengharuskan hilangnya keislaman darinya.
Jadi,
pokok iman berhadapan dengan pokok kufur. Tingkatan keimanan
dan cabang-cabangnya berhadapan dengan tingkatan kekafiran dan
bagian-bagiannya. Masing-masing dari keduanya saling mempengaruhi satu
dengan yang lainnya, ada dan tidak adanya.
Dari
keterkaitan yang terdapat pada nama-nama dan hukum-hukum ini,
jelaslah bagi Anda maksud para ulama mengenai pembagian kafir menjadi
bermacam-macam, dan ketahuilah bahwa hal ini merupakan penjelasan yang
menyatakan bahwa tidak selayaknya seseorang menuduh orang atau perbuatan
tertentu sebagai kekafiran. Maksudnya adalah kekafiran yang
bertentangan dengan pokok iman yang mengeluarkan seseorang dari Islam,
tetapi kadang-kadang juga dimaksudkan selain itu, yaitu apa yang sering
disebut dengan kufur kecil yang menurunkan iman seseorang tetapi tidak
menghilangkan keislamannya, sedangkan keislamannya tersebut hanya akan
hilang apabila ia mengingkari atau kafir kepada Allah SWT.
Pangkal Macam-Macam Kekafiran
Sebagaimana
disebutkan bahwa dilihat dari segi berlawanannya dengan pokok keimanan,
kekafiran terdiri dari beberapa macam. Berdasarkan hal ini kekafiran
dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
Pertama
Sesuatu
yang bertentangan dengan agama, yaitu mengeluarkan seseorang dari
Islam dan menjadi kafir dan diakhirat ia kekal di dalam neraka.
Para
ulama menyebutkan kekafiran ini dengan kufur besar (al-kufru
al-akbar), yaitu kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari Islam dan
menggugurkan keimanannya. Kekafiran ini adalah kufur yang tidak
memberikan kesempatan menyandang iman bagi orang yang masuk ke dalamnya,
dan itu terjadi dengan perkataan atau perbuatan yang menunjukkan
kekafiran tersebut dengan dilakukannya unsur-unsur kekafiran tersebut.
Oleh
karena itu, ungkapan bahwa kekafiran yang berdasarkan keyakinan
adalah kekafiran yang besar (al-kufru al-akbar) dan ia berhadapan
dengan kafir perbuatan yang merupakan kufur kecil adalah ungkapan yang
salah. Akan tetapi, kufur perbuatan kadang-kadang merupakan kufur akbar
(kufur besar).
Ibnu
Qayyim ra berkata, "Sebagaimana kekafiran terjadi dengan perkataan,
dan itu merupakan bagian dari kekafiran, demikian pula kekufuran
terjadi sebab melakukan sebagian perbuatan kafir seperti menyembah
patung dan menghina mushhaf."
Kedua
Tindakan
yang tidak bertentangan dengan pokok keimanan, tetapi perbuatan
tersebut berkaiatan dengan cabang-cabang iman, tingkatannya,
dan hal-hal yang dapat menyempurnakannya, sehingga tidak mengeluarkan
seseorang dari lingkaran agama Islam. Sebab, pokok iman masih melekat
pada dirinya, selama tidak ada penentangnya, baik dari perkataan maupun
perbuatan.
Pada kekafiran semacam ini, yang hilang adalah kesempurnaan iman dan derajat yang
dapat meningkatkan pokok iman dan tingkatan keislamannya, bukan semata-mata iman.
Kekafiran
ini yang disebut dengan 'al-kufru al-ashghar' (kufur kecil)
adalah selain dari kufur besar. Untuk menyebut hal ini, para ulama
mempunyai istilah khusus seperti sebutan 'kufrun duuna kufrin'
(kekafiran di bawah kekafiran), kezaliman di bawah kezaliman dan
kefasikan di bawah kefasikan.
Al-Kufru al-Akbar (Kafir Besar)
Al-Kufru
al-akbar (kafir besar) adalah sesuatu yang bertentangan dengan
pokok iman dan hakikatnya, yang menjadikan seseorang kekal di dalam
neraka dan mengeluarkan seseorang dari Islam.
Al-Kufru
al-akbar terbagi menjadi beberapa macam. Para ulama
menyebutkan beberapa hal, di antaranya Ibnu Qayyim, dia berkata: "Kufur
akbar terdiri dari lima macam, yaitu :
1. Kafir karena dusta
2. Kufur karena takabbur dan enggan percaya
3. Kufur karena berpaling
4. Kufur karena ragu
5. Kufur karena nifaq (munafiq)."
Dalil-dalil kekafiran tersebut :
Pertama
Kufur
karena dusta, Allah berfirman yang artinya, "Maka siapakah yang lebih
dzalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah
dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya. Bukankah di neraka
Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir?"
(Az-Zumar: 32)
Kedua
Kufur
karena takabbur dan enggan percaya, Allah berfirman, "Dan (ingatlah)
ketika Kami berfirman kepada para malaikat, 'sujudlah kamu
kepada Adam', maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan
takabbur dan adalah dia termasuk golongan orang-orang yang kafir?"
(Al-Baqarah: 34)
Ketiga
Kufur
karena berpaling, Allah berfirman, "Kami tiada menciptakan langit dan
bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan (tujuan)
yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan orang-orang yang kafir
berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka." (Al-Ahqaaf: 3)
Keempat
Kufur
karena ragu, Allah berfirman, "Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka
ia berkata dengan kawannya (yang mukmin) ketika ia
bercakap-cakap dengan dia, 'Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan
pengikut-pengikutku lebih kuat', Dan ia memasuki kebunnya sedang ia
zalim terhadap dirinya sendirinya, ia berkata, 'Aku kira kebun ini
tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira bahwa hari
kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada
Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih
baik kepadanya, sedang ia bercakap-cakap dengannya, 'Apakah kamu kufur
kepada (Rabb) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes
air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna'."
(Al-Kahfi: 34-37)
Kelima
Kufur
karena nifaq, Allah berfirman, "Yang demikian itu adalah karena bahwa
sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi)
lalu hati mereka dikunci mati, karena itu mereka tidak dapat mengerti."
(Al-Munafiquun: 3)
Syekh
Ibnu Taimiyah membagi kufur menjadi dua macam, yaitu kafir zahir
dan kafir nifaq (kafir yang terang-terangan dan kafir yang
disembunyikan). Syekh Muhammad Shiddiq Khan juga membagi kafir menjadi
dua macam, yaitu kafir
sharih (jelas) dan kafir ta'wil.
Namun
demikian, pendapat Muhammad Hasan khan memerlukan penjelasan
lebih lanjut, yaitu tentang bentuk kafir yang kedua, yaitu kafir
ta'wil. Jika yang ia maksudkan adalah kafir kecil (ashghar), maka ia
tidak termasuk ke dalam macam-macam kekafiran dalam pembahasan ini
(kafir besar). Hal ini, karena seseorang yang melakukan kafir yang
besar kadang-kadang berdasarkan penafsiran (ta'wil) yang ia lakukan,
dan ia dapat diampuni karena beberapa alasan seperti penafsiran itu
sendiri.
Pembagian
kafir besar (akbar) yang dilakukan para ulama tidak terlepas
dari pembagian istilah yang memerlukan banyak pertimbangan, yang
terpenting adalah pertimbangan ilmiyah dengan meneliti nash-nash dan
ijtihad berdasarkan nash-nash tersebut.
Hal
itu dilakukan untuk memberikan penjelasan kepada manusia supaya
mereka mempelajarinya dan tidak terjerumus ke dalam kekafiran itu,
sebagai upaya menghalau keragu raguan atau kesamaran-kesamaran yang
timbul dalam benak manusia, seperti mereka yang berkeyakinan bahwa kafir
hanya ada satu macam yaitu ingkar kepada Allah Sang Pencipta atau
keyakinan adanya sekutu bagi Allah, dan selain itu tidak berpengaruh
kepada keimanan selama pernyataan tauhid (dua syahadat) telah diucapkan
dengan jelas.
Jika
kita mau melihat hakikat kafir yang merupakan lawan dari iman dari
setiap aspeknya, di mana orang yang melakukannya berdasarkan pengetahuan
dan dengan sengaja menjadi kafir dan keluar dari agama Islam di dunia,
sedang di akhirat ia kekal di dalam neraka, maka jika kita ingin
mengetahui hakikat kekafiran dari aspek ini, kita dapat mengembalikan
semua pembagian kekafiran pada tiga pokok yang menghimpun macam-macam
kekafiran besar tersebut.
Dapat
dilihat dari segi kekafiran yang menghilangkan pokok keimanan, yaitu
penyimpangan dengan perkataan hati yang merupakan perwujudan ilmu
dan kepercayaan, dan perbuatan hati yang merupakan ketaatan atas
keislamannya. Hal itu dikarenakan iman adalah perkataan dan perbuatan,
dan keduanya adalah fondasi yang asasi. Jika salah satunya menyimpang,
yang lainnya tidak diperhitungkan. Hal yang dapat menghilangkan pokok
iman ini adalah jika berpaling dari pelaksanaan secara terperinci dalam
melakukan perintah atau meninggalkan larangan, dan kekafiran itu
terjadi dengan menolak perintah dan mengingkarinya.
Pokok
iman kadang-kadang ditetapkan jika terdapat pernyataan dan
pelaksanaan secara global, bahkan kadang-kadang ditetapkan pula dengan
cara yang lebih tinggi derajatnya, yaitu dengan pelaksanaan secara
terperinci. Akan tetapi, kadang-kadang terjadi kekurangan yang juga
dapat mengurangi keimanan.
Sumber: Al-Jahlu bi Masaailil I'tiqaad wa Hukmuhu, Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'as