Hubungan Khilafah dan Nusantara
Salman Iskandar
Predator Buku dan Peminat Sejarah Islam
Hubungan Khilafah dengan Nusantara tidak bisa dilepaskan dengan proses islamisasi yang terjadi di negeri kita ini. Sekuat apapun usaha berbagai pihak anti Islam untuk memisahkan Khilafah dengan sejarah umat Islam negeri ini akan berakhir dengan kesia-siaan. Pasalnya, fakta historis dan empiris terlalu kuat untuk dibantah, dieliminasi ataupun didistorsi.
Islamisasi negeri zamrud khatulistiwa ini, sebagaimana Teori Makkah yang diusung Buya Hamka, sudah terjadi sejak abad ke-7 M. Ulama besar Tanah Air yang integritasnya diakui di negeri serumpun ASEAN ini menyatakan bahwa para duta dakwah dari pusat Islam di Semenanjung Arabia telah datang ke Nusantara, bahkan telah membangun perkampungan Islam di pesisir utara dan barat Kepulauan Sumatera.
Dalam buku Dari Perbendaharaan Lama, Buya Hamka mengutip catatan dari para bahariawan Cina semasa Dinasti Tang, bahwa orang-orang Ta Cheh (suku Ta’shih, Arab) telah berdakwah di Kepulauan Syamatirah (Sumatera). Bahkan perjalanan suku Ta’shih ke wilayah al-Masyriq, yakni negeri timur terjauh yang bisa dijangkau oleh kendaraan tercepat yang dimiliki bangsa Arab saat itu, yakni negeri kita, Nusantara, sudah berlangsung sejak kerasulan Nabi Muhammad saw.
Dalam catatan sejarah yang ada, suku Ta’shih mulai mengarungi samudera untuk berniaga, sekaligus berdakwah ke negeri timur jauh bermula sejak Rasulullah saw. mengikat perjanjian damai dengan kaum musyrik Quraisy Makkah dalam Perjanjian Hudaibiyah pada 628 M. Saat itu dakwah Islam ke seluruh dunia telah menemukan momentumnya. Rasul saw. mengutus para dutanya, seperti Khalifah al-Kalby untuk menemui The Great Heracles di Constantinople, Romawi Byzantium, Ja’far bin Abi Thalib menemui Najasy di Habasyah, ada sahabat yang mendatangi Kisra Anusyirwan di Madain, Persia. Beliau juga mengutus para dutanya kepada Raja al-Mauquqis di Alexandria, Mesir, kepada penguasa Yamamah di Yaman, kepada penguasa Herah, penguasa Bashrah, penguasa Syam, dan yang lainnya. Salah seorang di antaranya adalah Abdullah bin Mas’ud yang diberitakan bersama suku Ta’shih mengarungi samudera menuju negeri al-Masyriq.
Islamisasi pada Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab, tidak lebih dari 5 tahun sepeninggal Rasul saw. wafat, terjadi Perang Qadisiyah pada 637 M. Kaum Muslim yang dipimpin panglima Saad bin Abi Waqqash berhasil mengalahkan pasukan Persia yang dipimpin panglima Rustum. Sesaat setelah memasuki ibukota Madain, panglima Islam yang juga paman Rasul saw. itu menulis surat kepada Khalifah Umar tentang kabar gembira kemenangan kaum Muslim. Ia sekaligus meminta izin kepada Khalifah agar tidak mengangkat dirinya sebagai gubernur di Persia. Panglima Saad meminta agar Khalifah Umar mengizinkan dia untuk berdakwah ke negeri al-Masyriq. Akhirnya, Khalifah mengizinkan Saad bin Abi Waqqash untuk meneruskan niat sucinya berdakwah ke negeri kita. Namun, qadarulLâh menetapkan Saad tidak sampai ke Nusantara. Izrail as. telah menjemput dirinya di wilayah Cina daratan saat beliau berdakwah di wilayah Canton. Kini, makam dan masjid Panglima Saad dapat kita ziarahi di Ghuangzhou, Cina.
Berikutnya, pada masa Khalifah Utsman bin Affan terjadi Perang Qurbush pada 649 M. Saat itu pasukan kaum Muslim dipimpin oleh Gubernur Syam, Muawiyah bin Abi Sufyan, Ia mengomando 70 kapal dayung menghadapi 1.000 kapal dayung armada laut Romawi Byzantium di lautan Mediterania. Akhirnya, perang laut yang baru kali pertama dilakukan kaum Muslim itu berhasil dimenangkan. Kepulauan Cyprus berhasil dikuasai oleh pasukan Islam. Sebelum perang dahsyat itu terjadi, Gubernur Muawiyah telah meminta izin kepada sepupunya. Khalifah Utsman untuk mengizinkan dirinya membangun armada laut Kekhalifahan. Tujuannya adalah untuk memperkuat pasukan Islam sekaligus untuk melindungi jalur niaga dan menopang dakwah Islam ke seluruh dunia, di antaranya ke negeri al-Masyriq. Hal ini dapat kita buktikan setelah Muawiyah diangkat sebagai khalifah paska era Khulafaur Rasyidin berakhir.
Pada masa pemerintahan ada di tangan Khalifah Ali bin Abi Thalib, tersiar kabar bahwa ada seorang ksatria dari negeri al-Masyriq yang menyengaja datang ke Semenanjung Arabia demi menemukan kebenaran Islam. Dalam kisah-kisah tradisional Kean Santang yang beredar di Tatar Pasundan, ksatria Sunda tersebut adalah Rakeyan Sancang, anak tunggal Prabu Wangi Kertawarman dari Kerajaan Tarumanagara. Ksatria inilah yang menjadi juru dakwah pertama di Tatar Sunda. Kisah heroik Rakeyan Sancang pada abad ke-7 ini kadang terpolarisasi dengan kisah sosok Kean Santang lainnya, yakni Ki Hiyang Santang, anak ketiga Prabu Wangi Pamanahrasa dari Kerajaan Galuh Pakuan yang hidup pada abad ke-14. Apalagi proses penyalinan naskah-naskah lama terkait dengan islamisasi di negeri ini umumnya dilakukan pada masa kolonialisme Belanda. Akibatnya, penyusunan konstruksi historiografi Islam di Nusantara kerap diselewengkan demi kepentingan politik kaum penjajah.
Islamisasi pada Masa Khilafah Bani Umayyah
Setelah Khalifah Ali bin Abi Thalib wafat dan pemerintahan Islam ada dalam kuasa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan, Khalifah segera memodernisasi kekuatan kaum Muslim saat itu dengan membangun armada laut berkekuatan 5.000 kapal dayung pada 655 M. Khalifah pertama dari Bani Umayyah ini telah banyak belajar dalam ekspedisi Qurbush 649 M, bahwa kekuatan laut mampu menopang syiar Islam sekaligus meninggikan kalimah Allah dalam dakwah dan jihad ke seluruh penjuru dunia. Khalifah Muawiyah juga menginsyafi bahwa armada laut adalah kendaraan tercepat yang dapat menjangkau tempat-tempat terjauh dari pusat Khilafah di jazirah Arabia.
Hal ini dapat kita lacak. Pada 674 M, Khalifah Muawiyah telah mengutus duta-duta dakwahnya ke negeri al-Masyriq. Dalam buku Dari Perbendaharaan Lama, Buya Hamka menyatakan bahwa bangsa Ta Cheh (Arab) itu diberitakan telah merapat ke Kerajaan Kalingga untuk menemui Ratu Sima dan Pangeran Jaysima di Jepara, Jawa Tengah. Dikisahkan pula bahwa penguasa Kerajaan Kalingga ini pun menerima Islam dengan baik.
Dakwah Islam pada masa Kekhalifahan Bani Umayyah ini pun dapat kita telusuri. Pada 718 M, Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Sri Indravarman telah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayyah untuk belajar Islam. Raja Sriwijaya Jambi dan keluarganya yang awalnya beragama Budha itu berkenan untuk memeluk Islam setelah Khalifah dari Bani Umawi itu mengirimkan para muqri untuk membacakan al-Quran, sekaligus mendakwahkan Islam di Jambi.
Islamisasi pada Masa Khilafah Bani Abbasiyyah
Pada masa kekuasaan Islam di tangan para khalifah Bani Abbasiyah, dakwah Islam ke negeri al-Masyriq tetap berjalan, dengan tibanya para duta dakwah dari pusat ibukota Khilafah, Baghdad. Apalagi setelah lahirnya kerajaan Islam pertama di negeri al-Masyriq, yakni Kerajaan Passe di Aceh Utara pada abad ke-13. Bahkan saat Khilafah Abbasiyyah jatuh pun pada 1258 oleh serbuan pasukan Mongol, Hulegu Khan, salah seorang anak keturunan Khalifah meminta perlindungan kepada Sultan Passe. Dia adalah keturunan Khalifah al-Muntashir yang generasi terakhirnya wafat di Aceh pada 1407.
Saat terjadi Perang Salib (1095-1270) yang berlangsung 8 gelombang pun, hubungan Kekhalifahan Islam dengan kaum Muslim di negeri ini tetap terjalin dengan eratnya. Terbukti dengan datangnya Laksamana Nazimuddin al-Kamil dari Mesir yang menyinggahi negeri-negeri Islam di timur untuk menggelorakan semangat jihad membela al-Quds, Palestina. Melalui ekspedisi Laksamana Nazimuddin inilah, Kerajaan Passe ikut mengambil peran dalam solidaritas Dunia Islam dengan menyiagakan pasukan terbaiknya.
Pada 1345 datang ulama besar dari Makkah, Syaikh Ismail, ke Passe. Beliau secara khusus datang untuk berdakwah di wilayah Aceh, Lamori dan Perlak atas titah Khalifah. Kisah kedatangan ulama besar Makkah ini dapat kita temukan dalam kitab sejarah Melayu, yakni Sulalatus Salatin dan buku Hikayat Raja-Raja Passe.
Islamisasi pada Masa Khilafah Utsmaniyah
Hubungan Khilafah Turki Utsmani dengan Nusantara sungguh erat kaitannya dengan mayoritas penduduk negeri ini. Pasalnya, Kekhalifahan Islam terakhir inilah yang berperan banyak dalam proses islamisasi di Pulau Jawa dan Bali. Sebagaimana yang tercatat dalam kitab Risalah ar-Rihlah, dikisahkan bahwa pada 1404, Sultan Muhammad I Jalabi dari Turki Utsmani menerima suaka politik para ulama polymath dari Samarkand, yakni Maulana Muhammad al-Baqir, Maulana Ahmad Jamaluddin Husayn al-Akbar, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq as-Samarkandi. Para ulama tersebut terusir dari negeri asalnya setelah mendapat intimidasi Amir Tamerlane. Menyaksikan keilmuan para ulama polymath tadi, Sultan Muhammad I Jalabi pun segera mengutus mereka untuk berdakwah ke negeri al-Masyriq, khususnya di Jawadwipa. Sultan kelima Bani Utsmani itu menginsyafi bahwa mayoritas penduduk Nusantara bermukim di Pulau Jawa, namun belum ada institusi politik Islam yang bertakhta di sana. Padahal di kepulauan Nusantara lainnya sudah berkuasa kesultanan-kesultanan Islam.
Keempat ulama asal Samarkand Uzbekistan itu pun segera menunaikan tugasnya berdakwah ke Jawadwipa. Dalam perjalanannya itu mereka singgah terlebih dulu di Gujarat, Malabar, Campa, dan Samodra Passe hingga yang tiba di Jawadwipa hanya Maulana Muhammad al-Baqir dan Maulana Ahmad Jamaluddin Husayn al-Akbar. Mereka berdua inilah yang dikenal masyarakat Jawa sebagai Syaikh Subakir dan Syaikh Jumadil Kubro, duta dakwah pelopor di Jawadwipa yang lebih dikenal sebagai wali sepuh, sebelum berdatangan para wali songo. Mereka berdua menyusun strategi dakwah dengan berbagi tugas. Syaikh Subakir berdakwah ke kalangan rakyat jelata. Syaikh Jumadil Kubro berdakwah ke kalangan elit politik. Hasilnya, Syaikh Subakir mendapat banyak pengikut di lereng gunung Merapi, sedangkan Syaikh Jumadil Kubro meraih dukungan dari para bhayangkari dan senapati Keraton Trowulan, di antaranya adalah Ki Singo Moyo, salah seorang senapati Kerajaan Majapahit.
Berikutnya, keberhasilan dakwah para wali sepuh ini pun ditindaklanjuti dengan keseriusan pemerintahan Utsmani untuk mengislamkan Pulau Jawa, tidak hanya bermotifkan ideologis semata, namun mengarah pada motif politis dan global strategis, yakni mewujudkan kesultanan Islam di Jawadwipa sekaligus kampanye dukungan politik terhadap Utsmani sebagai pemersatu dan pemimpin dunia Islam. Hal ini dibuktikan dengan diutusnya Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq as-Samarkandi pada 1408 untuk segera tiba di Jawadwipa.
Utusan Sultan Muhammad I Jalabi ini tiba di Keraton Trowulan dengan sambutan baik dari Prabu Brawijaya V. Bahkan penguasa Kerajaan Majapahit itu berkenan untuk memfasilitasi dakwah Maulana Malik Ibrahim dengan membangun padepokan di wilayah Leran, Gresik. Dari sinilah kemudian, Maulana Malik Ibrahim dikenal sebagai Sunan Gresik. Tidak hanya itu, Prabu Brawijaya V pun mengangkat Sunan Gresik sebagai penasihat kerajaannya mengingat beliau adalah ahli ilmu tata negara dan pemerintahan.
Dakwah para wali songo itu pun berlanjut dengan tibanya para duta dakwah utusan Sultan Muhammad I Jalabi lainnya. Di antaranya adalah Maulana Muhammad al-Maghribi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, serta Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin dari Palestina.
Islamisasi Jawadwipa terus berlangsung dari generasi satu ke generasi lainnya. Sekalipun Sultan Muhammad I Jalabi wafat, motif dakwah di Pulau Jawa masih tetap berjalan berkesinambungan.
Hal tersebut dapat kita pahami saat penakluk Konstantinopel, Fetih Sultan Mehmed Han dari Utsmani pada 1479, memberikan ucapan selamat sekaligus menganugerahi gelar “khalifatullah ing tanah Jawa” kepada Sultan Muhammad al-Fattah atau lebih dikenal sebagai Raden Patah bin Brawijaya V sebagai penguasa kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa, Demak Bintoro di Glagah Wangi. Pengakuan Sultan Utsmani ke-7 tersebut dengan memberikan kain kiswah Ka’bah bertuliskan kalimah tauhid, sekaligus bendera hijau bertuliskan kalimat Muhammad Rasulullah kepada Raden Patah. Duplikat dari kedua hadiah Sultan Turki itu kini diabadikan Keraton Ngajogjakarta Hadiningrat sebagai barang pusaka.
Hubungan erat para Sultan Utsmani dengan para penguasa Jawa pun terus berlanjut sekalipun para penguasa itu silih berganti, dari Demak, Pajang, Jipang, Mataram, hingga Jogjakarta Hadiningrat, termasuk dengan para penguasa Sunda di Keraton Pakungwati Caruban Nagari, Keraton Surosowan Bantam Darussalam, dan Keraton Sri Manganti Sumedanglarang.
Fakta historis yang dapat kita ungkap di antaranya dengan keterlibatan Khilafah Turki Utsmani dalam Java Orlog 1825-1830. Khalifah Abdul Hamid I telah mengutus 15 orang syaikh yang dipimpin Syaikh Abdusy Syukur untuk mengajari Raden Mas Ontowiryo Pangeran Diponegoro, putra pertama Sri Sultan Hamengkubuwono III tentang strategi perang gerilya. Bahkan laskar Diponegoro pun dibentuk berdasarkan pola militer Utsmani, di antaranya Arkiyo, Bulkiyo dan Turkiyo. Tidak hanya itu, nama juang para komandan tempurnya seperti Sentot Prawirodirdjo pun memakai nama panglima perang Turki Utsmani, Muhammad Ali Pasha, yang dijawanisasi menjadi Alibasah. Diponegoro sendiri memakai nama juang, Sultan Ngabdulhamit sebagaimana nama khalifah Utsmani, yakni Sultan Abdul Hamid I.
Perang Jawa yang berlangsung selama lima tahun itu benar-benar menguras habis kas keuangan pemerintah kolonial. Bahkan mereka sampai berutang besar kepada negara-negara Eropa, seperti Jerman, Inggris dan Prancis. Pemerintah kolonial Belanda dipaksa untuk menghadapi perang gerilya Diponegoro itu dengan strategi Benteng Stellsel, yaitu dengan membangun jalur KA beserta stasiun dan gudang-gudang amunisi di seluruh Jawa demi mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro.
Perang dahsyat di Jawa itu diakhiri dengan strategi licik penjajah Belanda di meja perundingan dengan menangkap Diponegoro dan mengasingkannya ke Makassar, Sulawesi Selatan. Namun, perjuangan laskar Arkiyo, Bulkiyo dan Turkiyo tetap terus berlanjut hingga pemerintah kolonial menerbitkan ordonansi keagamaan pada 1837 yang membabat habis semua potensi perlawanan rakyat Muslim Jawa dalam menentang kolonialisme. Di antara aturan refresif itu adalah membubarkan majelis wali songo yang dianggap sebagai otak di balik pemberontakan Diponegoro karena salah seorang guru ngajinya, yaitu Kyai Mojo, adalah anggota majelis wali songo. Aturan zalim berikutnya adalah mempersekusi setiap amal dakwah Islam politis ideologis menentang pemerintahan kolonial, bahkan dengan intimidasi dan eksekusi; termasuk dengan larangan keras adanya syiar dakwah di lingkungan keraton.
Hubungan erat lainnya, pada 1903 saat Jami’atul Khair mengadakan kongres umat Islam di Batavia, Sultan Utsmani sebagai khalifah kaum Muslim pun mengirimkan utusannya kepada para peserta kongres. Duta Utsmani yang bernama Muhammad Amin Bey itu menyampaikan pesan Khalifah, di antaranya adalah haramnya kaum Muslim di Nusantara tunduk pada kekuasaan kafir Belanda.
Pada 1912, Khalifah Utsmani, Sultan Muhammad Wahiduddin, menghimbau kepada Sultan Hamengku Buwono VII, Gusti Raden Mas Murtedjo, agar mendorong abdi ngarso dalem Keraton Ngajogjakarta Hadiningrat, Kyai Muhammad Darwisy (KH Ahmad Dahlan) agar mendirikan sebuah jam’iyyah yang bergerak dalam dunia pendidikan demi melawan sistem pendidikan kolonial yang anti-Islam. KH Ahmad Dahlan pun bersama para santrinya mendirikan Persjarikatan Moehammadijah.
Khatimah
Demikianlah, hubungan erat antara kekhalifahan Islam dengan Nusantara yang sudah berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya. Masihkah kita menampik bahwa tidak ada rekam jejak Khilafah di negeri ini? []