LAYANAN KESEHATAN:
HAK RAKYAT, KEWAJIBAN NEGARA
Islam menetapkan kebutuhan atas pangan, papan,
dan sandang sebagai kebutuhan pokok tiap inidividu rakyat. Islam juga
menetapkan keamanan, pendidikan, dan kesehatan sebagai hak dasar seluruh masyarakat. Rasulullah saw. menjelaskan bahwa ketersediaan kebutuhan-kebutuhan
ini seperti memperoleh dunia secara keseluruhan. Ini sebagai kiasan dari betapa pentingnya kebutuhan-kebutuhan tersebut bagi setiap individu. Rasulullah saw. bersabda:
«مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ،
مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا»
Siapa saja di antara kalian yang bangun pagi dalam keadaan diri dan
keluarganya aman, fisiknya sehat dan ia mempunyai makanan untuk hari itu, maka
seolah-olah ia mendapatkan dunia (HR at-Tirmidzi).
Untuk
itu, dalam ketentuan Islam, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok
berupa pangan, papan, dan sandang untuk tiap-tiap individu rakyat. Negara juga wajib menyediakan pelayanan keamanan, pendidikan dan pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat. Hal itu merupakan
bagian dari kewajiban mendasar negara (penguasa) atas rakyatnya. Penguasa tidak boleh berlepas tangan dari penunaian
kewajiban itu. Mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas kewajiban ini di
akhirat.
Sayang, penguasa saat ini tampak berlepas tangan dari kewajiban untuk menjamin
berbagai kebutuhan dasar yang menjadi hak rakyatnya. Salah satunya adalah
jaminan kesehatan. Saat ini jaminan kesehatan masyarakat malah menggunakan
sistem asuransi sosial dalam kerangka Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dikelola oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan).
Pengalihan Tanggung Jawab
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bertolak belakang dengan ketentuan Islam. Pasalnya, yang
terjadi dalam JKN, pelayanan kesehatan rakyat yang sesungguhnya kewajiban negara
justru diubah menjadi kewajiban rakyat.
Menurut Asih dan Miroslaw, dari German Technical
Cooperation (GTZ), LSM yang berperan aktif membidani kelahiran JKN: “Ide dasar jaminan kesehatan sosial adalah
pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari Pemerintah
kepada institusi yang memiliki kemampuan tinggi untuk membiayai pelayanan
kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.” (Asih
Eka Putri dan Miroslow Manicki. “Pembangunan
Sistem Jaminan Kesehatan Sosial: Bagaimana Jaminan Kesehatan Sosial Dapat
Membuat Perubahan?” German Technical Cooporation, Social Health Insurance
Project Indonesia). Jakarta. (Makalah). www.sjsn.menkokesra.go.id.).
Jadi sejak
awal ruh dari sistem JKN oleh BPJS adalah pengalihan
tanggung jawab dari pundak negara ke pundak seluruh rakyat. Dengan
pengalihan itu, jaminan kesehatan yang merupakan tanggung jawab dan kewajiban negara justru diubah menjadi
kewajiban rakyat. Rakyat diwajibkan untuk saling membiayai pelayanan kesehatan
di antara mereka melalui sistem JKN dengan prinsip asuransi sosial.
Asuransi Sosial
Kesehatan
JKN sejatinya bukanlah
jaminan kesehatan.
JKN sebenarnya adalah asuransi sosial. Asuransi
sosial itu adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang
berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang
menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya (Pasal 1 ayat 3 UU SJSN).
Akibatnya,
pelayanan
kesehatan untuk rakyat disandarkan pada premi yang dibayar oleh rakyat. Jika rakyat tidak membayar, mereka tidak berhak
atas pelayanan kesehatan. Karena
diwajibkan, jika telat atau tidak bayar, rakyat (peserta asuransi sosial
kesehatan) dikenai sanksi, baik denda
atau sanksi administratif. Pelayanan kesehatan rakyat bergantung pada jumlah
premi yang dibayar rakyat. Itulah ide dasar operasional BPJS.
Pemasukan dari iuran dikelola oleh BPJS untuk memberikan
jaminan kesehatan kepada peserta JKN-KIS. Namun, tidak semuanya digunakan untuk itu. Menurut UU, sebagian
dari dana yang dikelola BPJS Kesehatan harus diinvestasikan dalam instrumen
investasi dalam negeri baik instrumen deposito, saham, SBN (Surat Berharga
Negara atau surat utang negara), reksadana dan instrumen lainnya. CNN
Indonesia melansir bahwa pada akhir tahun lalu (2017) aset dana kelolaan
BPJS Kesehatan menyentuh angka sekitar Rp7,2-Rp7,3 triliun (www.cnnindonesia.com,
28/8/2018).
Dalam perjalanan mengelola JKN-KIS, BPJS terus mengalami
defisit sejak 2014. Defisit itu makin besar dari tahun ke tahun. Tahun 2014 defisitnya
Rp 3,3 triliun, lalu naik
menjdi Rp5,7 triliun pada 2015. Berikutnya naik lagi menjadi Rp 9,7 triliun pada 2016 dan Rp 9,75
triliun pada 2017. Untuk tahun ini, berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) setidaknya hingga akhir 2018, defisit BPJS Kesehatan
mencapai Rp 10,98 triliun. Akibat defisit itu, BPJS Kesehatan menunggak pembayaran
kepada ratusan rumah sakit yang
menjadi partner BPJS
Kesehatan.
Dalam rapat di DPR, Selasa (18/9), Direktur Utama BPJS
Kesehatan Fachmi Idris menyebut besaran klaim yang dibayarkan perusahaan selalu
lebih besar ketimbang iuran yang diterima dari pesertanya. CNBC Indonesia
(29/9/2018) menyebutkan, BPJS
Kesehatan memang memiliki potensi menderita defisit setiap tahun. Pasalnya,
besaran iuran tidak bisa menutupi rata-rata biaya peserta. Pada 2017, rata-rata premi perorang perbulan mencapai Rp
34.119, sementara rata-rata biaya perorang Rp 39.744 perbulan. Artinya, tekor Rp 5.625 perorang perbulan. Dengan jumlah peserta mencapai 204,4 juta hingga
pertengahan September 2018
maka defisit BPJS Kesehatan perbulannya sekitar Rp 1,1 triliun. Selama kondisinya seperti itu, meski
kepesertaan 100% lebih sekalipun, BPJS akan terus defisit.
Dalam
kerangka berpikir asuransi sosial, tentu solusi defisit BPJS adalah dengan
menaikkan iuran premi. Namun, dalam situasi tahun Pemilu, solusi menaikkan iuran BPJS jelas “tidak
menguntungkan” bagi Jokowi. Karena itu untuk menutup defisit itu dipilih
kebijakan menyuntikkan dana dari APBN ke BPJS Kesehatan. Dalam hal ini Pemerintah telah
menyuntikkan dana yang jika ditotal sudah mencapai Rp 10,1 triliun (finance.detik.com, 12/12/2018).
Jaminan Kesehatan dalam Islam
Dalam Islam, kebutuhan atas
pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban
negara. Rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan
lainnya merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh kaum Muslim dalam
terapi pengobatan dan berobat. Jadilah pengobatan itu sendiri merupakan
kemaslahatan dan fasilitas publik. Kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq) itu wajib disediakan
oleh negara secara cuma-cuma sebagai bagian dari pengurusan negara atas
rakyatnya. Ini sesuai dengan sabda Rasul saw.:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat
yang dia urus (HR al-Bukhari).
Salah satu tanggung jawab pemimpin adalah menyediakan layanan kesehatan
dan pengobatan bagi rakyatnya secara cuma-cuma.
Sebagai kepala negara, Nabi Muhammad
saw. pun menyediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw.
mendapatkan hadiah seorang dokter
dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum
bagi masyarakat (HR Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa
serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di
Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara kemudian meminta mereka untuk
tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’.
Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR
al-Bukhari dan Muslim).
Saat menjadi khalifah, Khalifah Umar
bin al-Khaththab ra. juga menyediakan dokter gratis untuk mengobati Aslam (HR
al-Hakim).
Masih ada nas-nas lainnya yang menunjukkan bahwa negara menyediakan pelayanan kesehatan secara penuh dan cuma-cuma untuk rakyatnya.
Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan dan pengobatan adalah termasuk kebutuhan
dasar yang wajib disediakan oleh negara secara gratis untuk seluruh rakyat tanpa
memperhatikan tingkat ekonominya.
Jaminan kesehatan dalam Islam itu
memiliki empat sifat. Pertama, universal, dalam arti tidak ada pengkelasan dan pembedaan
dalam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua,
bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk
mendapat pelayanan kesehatan. Ketiga,
seluruh rakyat bisa mengaksesnya dengan mudah. Keempat, pelayanan
mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon.
Pemberian jaminan kesehatan seperti
itu tentu membutuhkan dana tidak kecil.
Pembiayaannya bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah
ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan
umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya. Juga
dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur,
pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup
untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk
seluruh rakyat, secara berkualitas.
Kuncinya adalah dengan menerapkan
syariah Islam secara menyeluruh. Hal itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem
yang dicontohkan dan ditinggalkan oleh Nabi saw., lalu dilanjutkan oleh
Khulafaur Rasyidin dan generasi selanjutnya. Itulah sistem Khilafah Rasyidah
yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus diperjuangkan oleh—sekaligus menjadi
tanggung jawab—seluruh umat Islam.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
Rasulullah
saw. bersabda:
«إِنَّكُمْ
سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَصِيرُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ
الْقِيَامَةِ… »
Kalian
begitu berhasrat atas kekuasaan, sementara kekuasaan itu akan menjadi
penyesalan dan kesedihan pada Hari Kiamat… (HR Ahmad).
[SELENGKAPNYA] tentang Buletin KAFFAH semua edisi BISA dilihat DISINI