*Catatan Ekonomi 2018 : Kapan Indonesia bisa Sejahtera ?*
Oleh : Adi S. Soeswadi
Baru saja kita memasuki tahun 2019. Tak ada salahnya jika menengok sejenak ekonomi 2018 untuk bekal melangkah di tahun ini. Evaluasi tentu penting artinya bagi bangsa ini agar tidak mengulangi kesalahan yang sama demi tercapainya kesejahteraan yang diharapkan bersama . Beberapa catatan penting ekonomi yang perlu menjadi bahan evaluasi adalah sebagai berikut :
*1.Utang luar negeri*
Mengutip dari detikcom, utang kita telah meningkat pesat mencapai 1600 T sejak 2014. Memang cukup fantastis. Sampai dengan akhir Nopember 2018 sudah mencapai 4395 T. Bertambah 467 T dari utang per Nopember 2017. Padahal APBN 2018 juga telah menganggarkan pembayaran utang sebesar 399 T. Ini namanya gali lubang tutup lubang, membayar utang lama dan membuat utang baru. Karena pajak yang selalu menjadi andalan tidak mampu menutupi kebutuhan anggaran belanja.
Apakah utang tersebut mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat ? Kalau melihat angka kemiskinan yang disampaikan BPS, angkanya memang terlihat turun dari tahun 2017 hanya 25,5 juta atau 9,8%. Tapi kita perlu mencermati standar kemiskinan yang dipakai, 400 ribu per kapita per bulan. Jika diasumsikan satu keluar dengan satu isteri dan dua anak, maka dikatakan miskin jika penghasilannya kurang dari 1,6 juta per bulan. Tentu standar ini sangatlah kecil sekali dan tidak sesuai dengan realitas. Jadi kalau standarnya dinaikkan sesuai besaran minimal kebutuhan bisa dipenuhi, maka tentu angka kemiskinan akan sangat tinggi. Itu artinya, utang yang menggunung sama sekali tidak berarti apa-apa buat peningkatan kesejahteraan sebagian besar rakyat.
*2. Neraca Perdagangan*
Mengutip dari CNBC Indonesia, neraca perdagangan kita mengalami defisit hingga US$ 2,05 miliar pada Nopember 2018 (BPS 2018). Ini kondisi paling parah dalam lima tahun terakhir. Defisit tersebut disebabkan karena nilai ekspor yang loyo, sementara nilai impor justru melonjak. Nilai ekspor tercatat US$ 14,83 miliar atau turun 3,28% secara year on year (yoy). Sedangkan data otoritas statistik menunjukkan bahwa, nilai impor justru mencapai US$ 16,88 miliar atau naik 11,68% yoy.
Biang kerok memburuknya neraca perdagangan barang tidak lepas dari defisit perdagangan migas yang melebar menjadi US$ 3,53 miliar di kuartal II-2018, naik dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 2,76 miliar. Kebutuhan minyak kita perhari sekitar 1,3 juta barel, sedangkan produksinya hanya mencapai sekitar 680 ribu barel per hari. Tentu ini akan menguras cadangan devisa.
Disamping itu, masuknya barang yang lebih murah, terutama dari Tiongkok, nilainya impornya paling meningkat pesat. Ini mengancam industri dalam negeri. Tapi kita tidak bisa berbuat banyak akibat adanya perjanjian perdangangan bebas AFTA atau MEA. Ketidakmampuan industri dalam negeri untuk bersaing akan mengakibatkan gulung tikar. Pengangguran tentu akan semakin meningkat, dan akibatnya angka kriminalitas semakin tinggi.
(bersambung…)