Buletin Kaffah No. 002, 18 Agustus 2017/25
Dzulqa’dah 1438 H
IMAN YANG KUAT DAN PRODUKTIF
Agar manusia
bisa menjalani hidup di dunia dengan benar dan terus meningkat hingga mencapai
taraf kehidupan paling tinggi, ia harus memiliki keyakinan mendasar yang melandasi
seluruh hidup dan kehidupannya. Keyakinan mendasar itu berupa jawaban yang
benar tentang apa itu hakikat alam, manusia dan kehidupan; apa yang ada sebelum
dunia dan yang ada sesudah dunia; serta apa hubungan antara dunia dengan yang
ada sebelum dan sesudah dunia. Jawaban atas ketiga hal itu akan menjadi
pemikiran integral (fikrah kulliyah)
yang akan menjadi dasar semua perilaku dalam menempuh hidup di dunia serta mengelola
kehidupan dunia.
Islam telah memberikan jawaban atas ketiga hal itu dengan
jawaban yang benar dan sesuai fitrah; jawaban yang memuaskan akal dan
menenteramkan hati. Jawaban itu adalah akidah Islam. Akidah Islam inilah yang
berpengaruh menentukan dan mengarahkan kehidupan manusia sehingga produktif dan
tidak jumud.
Islam memberikan jawaban atas ketiga pertanyaan mendasar
itu dengan jawaban bahwa di balik alam, manusia dan kehidupan ada Sang Pencipta
(Al-Khâliq). Dialah Yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan.
Dialah Allah SWT, Zat Yang wâjib al-wujûd (keberadaan-Nya mutlak).
Keberadaan sang Pencipta bisa diyakini secara pasti dari
hasil perenungan tentang keberadaan alam, manusia dan kehidupan. Alam, manusia
dan kehidupan, baik masing-masing ataupun secara keseluruhan, memiliki
keterbatasan. Akal pun memastikan bahwa segala hal yang memiliki keterbatasan bersifat
lemah, serba kurang dan memerlukan yang lain. Semua yang terbatas, lemah, serba
kurang dan membutuhkan pihak lain mustahil datang dan ada dengan sendirinya.
Dengan demikian adanya manusia, alam dan kehidupan yang memiliki keterbatasan, kelemahan
dan kekurangan serta membutuhkan yang lain meniscayakan keberadaan Sang
Pencipta. Dialah Tuhan Yang menciptakan semua itu dari ketiadaan. Semua yang
tercipta pastilah tidak azali, artinya pasti ada awal dan akhirnya.
Sifat Al-Khâliq
Berbicara tentang keberadaan Sang Pencipta (Tuhan), maka
hanya ada tiga kemungkinan. Pertama: Tuhan merupakan ciptaan dari yang
lain. Kedua: Tuhan menciptakan dirinya sendiri. Ketiga, Tuhan bersifat
azali (tidak berawal dan tidak berakhir) dan wâjib al-wujûd (wajib ada).
Kemungkinan pertama secara pasti adalah batil. Sebab, jika
Tuhan merupakan ciptaan dari yang lain, berarti Tuhan adalah makhuk, bukan al-Khâliq.
Kemungkinan kedua juga batil karena berarti Tuhan menjadi al-Khâliq
sekaligus makhluk. Ini mustahil. Alhasil, Tuhan haruslah bersifat azali, yakni
tidak berawal dan tidak berakhir. Tuhan haruslah wâjib al-wujûd (keberadaannya
mutlak). Dialah Allah SWT.
Orang yang berakal akan memahami bahwa keberadaaan segala
sesuatu adalah ciptaan (makhluk) dari Sang Pencipta (Al-Khâliq). Dengan
mengarahkan pandangan pada segala sesuatu berupa alam, kehidupan dan manusia kita
meyakini bahwa semua itu cukup untuk dijadikan argumentasi dan dalil atas keberadaan
Sang Pencipta yang Maha Pengatur (Al-Khâliq al-Mudabbir). Oleh
karena itu kita mendapati al-Quran mengarahkan perhatian dan pandangan manusia pada
segala sesuatu—yang serba terbatas, serba lemah dan serba kurang—untuk
membuktikan keberadaan Sang Pencipta, Allah SWT. Di dalam al-Quran terdapat
ratusan ayat yang seperti itu. Di antaranya ayat berikut:
﴿إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ
اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ﴾
Sungguh dalam penciptaan langit dan
bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berakal (TQS Ali Imran [3]: 190).
Allah SWT juga berfirman:
﴿إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ
اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ
وَمَا أَنزَلَ
اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِن مَّاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ
فِيهَا مِن كُلِّ
دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ﴾
Sungguh
dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang
berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, air yang Allah turunkan
dari langit—lalu dengan air itu Dia menghidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya,
penyebaran di bumi itu segala jenis hewan, serta pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi, benar-benar merupakan tanda-tanda (keesaan
dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal (TQS al-Baqarah
[2]:
164).
Dengan demikian bisa diyakini dan diimani secara pasti
bahwa di balik alam semesta, manusia dan kehidupan ini ada Al-Khâliq.
Dialah Yang menciptakan semua itu. Dialah Allah SWT, Zat Yang azali dan wâjib
al-wujûd.
Lalu dengan merenungkan keteraturan semua unsur alam
semesta, manusia dan kehidupan ini, bisa dipastikan keesaan Allah SWT sebagai
Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur. Sebab, andai Al-Khâliq al-Mudabbir
itu berbilang, niscaya rusaklah alam, manusia dan kehidupan. Dalam hal ini
Allah SWT berfirman:
﴿لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا
اللَّهُ لَفَسَدَتَا
فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ﴾
Andai ada di langit dan di bumi
tuhan-tuhan selain Allah, tentulah langit dan bumi itu telah rusak binasa. Mahasuci
Allah, Zat Yang mempunyai 'Arsy, dari apa saja yang mereka sifatkan (TQS al-Anbiya` [21]:
22).
Alhasil, keberadaan (eksistensi) Allah SWT dan
keesaan-Nya telah bisa diyakini dan diimani secara pasti dengan proses berpikir
secara ‘aqliyyah disertai dengan bukti-bukti dan dalil pasti. Adapun
tentang hakikat (esensi) Zat-Nya tidak mungkin bisa dijangkau oleh akal. Sebabnya,
Zat-Nya berada di balik apa yang bisa dijangkau akal. Keimanan atas hakikat Allah
SWT berikut nama-nama, sifat-sifat dan sebagainya haruslah didasarkan pada
informasi dari Allah SWT sendiri di dalam wahyu-Nya.
Al-Quran
Kalamullah, Muhammad Rasulullah saw.
Keberadaan al-Quran sebagai kalamullah juga bisa diimani
secara ‘aqliyyah, yakni dari fakta al-Quran yang berbahasa Arab. Dalam
hal ini hanya ada tiga kemungkinan: (1) Al-Quran itu karangan bangsa Arab; (2)
Al-Quran itu karya Muhammad saw.; (3) Al-Quran itu merupakan kalamullah.
Kemungkinan pertama tentu batil. Pasalnya, Allah SWT sendiri
telah menantang semua orang Arab untuk membuat yang semisal al-Quran (QS
al-Baqarah [2]: 23 dan Hud [11]: 13). Sudah terbukti secara pasti bahwa seluruh
orang Arab tidak mampu menjawab tantangan itu. Jadi, mustahil al-Quran merupakan
karangan bangsa Arab. Kemungkinan kedua juga batil. Pasalnya, Muhammad adalah
bagian dari bangsa Arab. Jika seluruh orang Arab tidak mampu membuat semisal
al-Quran, apalagi hanya seorang Muhammad. Tentu lebih mustahil lagi al-Quran dikarang
okeh orang non-Arab. Alhasil, kemungkinan ketigalah yang benar, yakni bahwa
al-Quran merupakan kalamullah dan menjadi mukjizat bagi orang yang membawanya. Muhammadlah
yang membawa al-Quran yang merupakan kalamullah dan syariah-Nya itu, sementara
tidak ada yang membawa syariah Allah SWT kecuali para nabi dan rasul. Karena itu
bisa dipastikan bahwa beliau adalah seorang nabi dan rasul-Nya.
Kesimpulan
Dengan demikian keimanan kepada Allah SWT sebagai Sang
Pencipta, al-Quran sebagai kalamullah serta Muhammad saw. sebagai nabi dan
rasul-Nya telah bisa dibangun secara ‘aqliyyah dengan bukti dan dalil.
Hal itu menjadi pilar tegaknya keimanan pada semua hal gaib dan apa saja yang
diberitahukan oleh Allah SWT dalam al-Quran baik yang bisa dijangkau akal ataupun
tidak. Dari sini berarti kita wajib mengimani Hari Kebangkitan (Hari Kiamat),
surga, neraka, hisab, azab, para malaikat, jin, setan dan lainnya yang telah diinformasikan
secara pasti (qath’i) oleh al-Quran atau hadis-hadis mutawatir.
Berdasarkan hal itu, kita wajib mengimani apa yang ada
sebelum kehidupan dunia. Itulah Sang Pencipta, yaitu Allah SWT. Kita pun wajib
mengimani apa yang ada sesudah kehidupan dunia. Itulah alam akhirat sebagai
tempat kembali manusia kepada Sang Pencipta (Allah SWT). Konsekuensinya, kita
pun wajib mengimani sekaligus melaksanakan seluruh ketentuan Allah SWT, yakni
syariah-Nya, yang faktanya Dia turunkan untuk mengatur kehidupan manusia di
muka bumi ini. Artinya, manusia wajib berjalan di kehidupan dunia ini sesuai dengan
aturan-aturan Allah, sesuai syariah-Nya, dalam segala tindak tanduknya dan
dalam segala pengaturan kehidupan individu, keluarga dan masyarakat dalam
segala aspeknya. Manusia wajib menjalankan dan menerapkan syariah Allah SWT
secara keseluruhan dalam seluruh aspek kehidupan dunia. Tentu manusia akan
dihisab dan dimintai pertanggungjawaban pada Hari Kiamat atas semua itu, yang
akan menentukan apakah dia akan menempati surga dengan segala kenikmatannya
atau dijebloskan ke dalam neraka dengan segala azabnya yang amat pedih.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ
تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ»
Nabi saw.
bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga dia menjadikan
hawa nafsunya tunduk pada apa yang aku bawa (al-Quran dan as-Sunnah).” (Al-Baghawi,
Syarh as-Sunnah, I/213; Ibn Bathah, Al-Ibânah al-Kubrâ, I/387).
Buletin KAFFAH semua edisi dilihat DISINI