MAULIDAN SILAKAN ASAL TIDAK MENJADI GENERASI ABU LAHAB
Oleh: Rijjal Ghazali
Ini adalah tulisan lama dari Ustadz Arief B. Iskandar yang berjudul Generasi Abu Lahab. Walau tulisan lama, tetapi isinya tidak akan lekang oleh zaman. Isi tulisan ini mencermati tradisi Maulidan (Mauludan) yang banyak diadakan oleh kalangan muslim Melayu (dan kadang menjadi kontroversi di tengah-tengah umat), dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw. sebagai bentuk kecintaan mereka kepada utusan Allah tersebut. Namun di sisi lain, tidak sedikit mereka yang suka merayakan Mauludan, justru tidak meneladani seluruh perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad saw. Bahkan sebagian ajaran beliau, justru sengaja ditinggalkan. Misalnya ajaran beliau tentang tata cara mengatur masyarakat menggunakan syariat Islam. Lantas, jujurkah kita mencintai Nabi Muhammad saw.
Kita ikuti tulisan berikut.
*
Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan, suatu hari, Senin, Tsuwaibah datang kepada tuannya, Abu Lahab, seraya menyampaikan kabar tentang kelahiran bayi mungil bernama Muhammad, keponakan barunya. Mendengar itu Abu Lahab pun bersukacita. Ia kegirangan seraya meneriakkan kata-kata pujian sepanjang jalan.
Sebagai bentuk luapan kegembiraan, ia segera mengundang para tetangga dan kerabat dekatnya untuk merayakan kelahiran keponakan tercintanya ini: bayi laki-laki yang mungil, lucu dan sempurna. Sebagai penanda sukacitanya, ia pun berkata kepada budaknya, Tsuwaibah, di hadapan khalayak ramai yang mendatangi undangan perayaan kelahiran keponakannya, “Tsuwaibah, sebagai tanda syukurku atas kelahiran keponakanku (Muhammad), anak dari saudara laki-lakiku, Abdullah, maka kamu menjadi manusia merdeka mulai hari ini!”
Sayangnya, siapapun tahu, kelak Abu Lahab justru tampil menjadi salah satu musuh utama Nabi Muhammad saw. Ia mengingkari risalah kenabian beliau sekaligus menentang al-Quran yang beliau bawa. Karena itu sosoknya lalu dikecam dalam satu surat tersendiri dalam al-Quran, yakni surat Al-Masad (Al-Lahab).
Namun demikian, karena ekspresi kegembiraannya menyambut kelahiran Muhammad, Abu Lahab mendapatkan keringanan siksaan, yakni pada setiap hari Senin. As-Suyuthi berkata dalam Al-Hawy (I/196-197), “Saya melihat Imamul Qurra`, Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Jauzi, berkata dalam kitab beliau yang berjudul, Urf at-Ta’rif bi al-Mawlid asy-Syarif, dengan teks sebagai berikut: Telah diperlihatkan Abu Lahab setelah meninggalnya di dalam mimpi. Dikatakan kepada dia, “Bagaimana keadaanmu?” Dia menjawab, “(Aku) di dalam neraka. Hanya saja, diringankan atas diriku siksaan setiap malam Senin. Hal ini karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika dia menyampaikan kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Muhammad dan karena dia telah menyusuinya.”
As-Suyuthi berkata, “Jika Abu Lahab yang kafir ini, yang telah dicela oleh al-Quran, diringankan siksaannya dengan sebab kegembiraannya karena kelahiran Nabi Muhammad saw., maka bagaimana lagi keadaan seorang Muslim dari kalangan umat beliau yang bertauhid, yang gembira dengan kelahiran beliau dan mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mencintai beliau?! Saya bersumpah, tidak ada balasan dari Allah Yang Maha Pemurah kecuali Dia akan memasukkannya ke dalam surga.”
Riwayat tentang Abu Lahab ini pun dicantumkan di dalam kitab Al-Barjanji yang terkenal, juga dinukil oleh Syaikh Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam risalahnya, Hawla al-Ihtifal bi al-Mawlid (hlm. 8). Riwayat ini kemudian dijadikan dalil oleh sebagian ulama tentang keabsahan merayakan Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw.
*
Tentu menarik jika riwayat ini dikaitkan dengan realitas umat Islam hari ini. Banyak dari umat ini yang begitu antusias dengan Perayaan Kelahiran Nabi Muhammad saw. Namun, saat yang sama, sebagian dari mereka sering tak berbeda sikapnya dengan Abu Lahab: mengabaikan al-Quran yang dibawa oleh Nabi saw., mencampakkan syariah-Nya dan menolak hukum-hukum-Nya dengan berbagai alasan. Padahal bukankah demi al-Quran, syariah dan hukum-hukum-Nya, Nabi Muhammad saw. dilahirkan dan diutus? Jika demikian, sekali lagi kita layak bertanya kepada diri sendiri: Jujurkah kita mencintai Baginda Rasulullah saw.?
Di sisi lain, kita berduka sekaligus murka saat Baginda Rasulullah saw. dihinadinakan dan dinistakan. Namun, apakah kita juga berduka dan murka saat al-Quran sekian lama dicampakkan; saat syariah-Nya sekian lama tak dipedulikan; dan saat hukum-hukum-Nya sekian lama tak diterapkan? Padahal bukankah demi al-Quran, syariah dan hukum-hukum-Nya, Nabi Muhammad saw. rela mengorbankan harta, keluarga, bahkan jiwanya? Jika demikian, kita pun layak bertanya kepada diri sendiri: Tuluskah ekspresi kesedihan dan kemarahan kita saat Rasulullah saw. dihinadinakan dan dinistakan? Faktanya, kita pun telah mengecewakan beliau. Bahkan kita telah benar-benar menyakiti perasaan beliau hingga beliau menangis dan mengadu kepada Allah SWT: “Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Quran ini sebagai perkara yang diabaikan.” (TQS al-Furqan [25]: 30).
‘Ala kulli hal, semoga kita tak menjadi bagian dari ‘Generasi Abu Lahab’, yang hanya bersukacita atas kelahiran Nabi Muhammad saw., tetapi saat yang sama mengabaikan al-Quran, menolak syariahnya dan enggan diatur dengan hukum-hukumnya dalam naungan Khilafah ar-Rasyidah yang telah beliau wariskan kepada kita, umatnya.
Oleh: Rijjal Ghazali
Ini adalah tulisan lama dari Ustadz Arief B. Iskandar yang berjudul Generasi Abu Lahab. Walau tulisan lama, tetapi isinya tidak akan lekang oleh zaman. Isi tulisan ini mencermati tradisi Maulidan (Mauludan) yang banyak diadakan oleh kalangan muslim Melayu (dan kadang menjadi kontroversi di tengah-tengah umat), dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw. sebagai bentuk kecintaan mereka kepada utusan Allah tersebut. Namun di sisi lain, tidak sedikit mereka yang suka merayakan Mauludan, justru tidak meneladani seluruh perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad saw. Bahkan sebagian ajaran beliau, justru sengaja ditinggalkan. Misalnya ajaran beliau tentang tata cara mengatur masyarakat menggunakan syariat Islam. Lantas, jujurkah kita mencintai Nabi Muhammad saw.
Kita ikuti tulisan berikut.
*
Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan, suatu hari, Senin, Tsuwaibah datang kepada tuannya, Abu Lahab, seraya menyampaikan kabar tentang kelahiran bayi mungil bernama Muhammad, keponakan barunya. Mendengar itu Abu Lahab pun bersukacita. Ia kegirangan seraya meneriakkan kata-kata pujian sepanjang jalan.
Sebagai bentuk luapan kegembiraan, ia segera mengundang para tetangga dan kerabat dekatnya untuk merayakan kelahiran keponakan tercintanya ini: bayi laki-laki yang mungil, lucu dan sempurna. Sebagai penanda sukacitanya, ia pun berkata kepada budaknya, Tsuwaibah, di hadapan khalayak ramai yang mendatangi undangan perayaan kelahiran keponakannya, “Tsuwaibah, sebagai tanda syukurku atas kelahiran keponakanku (Muhammad), anak dari saudara laki-lakiku, Abdullah, maka kamu menjadi manusia merdeka mulai hari ini!”
Sayangnya, siapapun tahu, kelak Abu Lahab justru tampil menjadi salah satu musuh utama Nabi Muhammad saw. Ia mengingkari risalah kenabian beliau sekaligus menentang al-Quran yang beliau bawa. Karena itu sosoknya lalu dikecam dalam satu surat tersendiri dalam al-Quran, yakni surat Al-Masad (Al-Lahab).
Namun demikian, karena ekspresi kegembiraannya menyambut kelahiran Muhammad, Abu Lahab mendapatkan keringanan siksaan, yakni pada setiap hari Senin. As-Suyuthi berkata dalam Al-Hawy (I/196-197), “Saya melihat Imamul Qurra`, Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Jauzi, berkata dalam kitab beliau yang berjudul, Urf at-Ta’rif bi al-Mawlid asy-Syarif, dengan teks sebagai berikut: Telah diperlihatkan Abu Lahab setelah meninggalnya di dalam mimpi. Dikatakan kepada dia, “Bagaimana keadaanmu?” Dia menjawab, “(Aku) di dalam neraka. Hanya saja, diringankan atas diriku siksaan setiap malam Senin. Hal ini karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika dia menyampaikan kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Muhammad dan karena dia telah menyusuinya.”
As-Suyuthi berkata, “Jika Abu Lahab yang kafir ini, yang telah dicela oleh al-Quran, diringankan siksaannya dengan sebab kegembiraannya karena kelahiran Nabi Muhammad saw., maka bagaimana lagi keadaan seorang Muslim dari kalangan umat beliau yang bertauhid, yang gembira dengan kelahiran beliau dan mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mencintai beliau?! Saya bersumpah, tidak ada balasan dari Allah Yang Maha Pemurah kecuali Dia akan memasukkannya ke dalam surga.”
Riwayat tentang Abu Lahab ini pun dicantumkan di dalam kitab Al-Barjanji yang terkenal, juga dinukil oleh Syaikh Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam risalahnya, Hawla al-Ihtifal bi al-Mawlid (hlm. 8). Riwayat ini kemudian dijadikan dalil oleh sebagian ulama tentang keabsahan merayakan Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw.
*
Tentu menarik jika riwayat ini dikaitkan dengan realitas umat Islam hari ini. Banyak dari umat ini yang begitu antusias dengan Perayaan Kelahiran Nabi Muhammad saw. Namun, saat yang sama, sebagian dari mereka sering tak berbeda sikapnya dengan Abu Lahab: mengabaikan al-Quran yang dibawa oleh Nabi saw., mencampakkan syariah-Nya dan menolak hukum-hukum-Nya dengan berbagai alasan. Padahal bukankah demi al-Quran, syariah dan hukum-hukum-Nya, Nabi Muhammad saw. dilahirkan dan diutus? Jika demikian, sekali lagi kita layak bertanya kepada diri sendiri: Jujurkah kita mencintai Baginda Rasulullah saw.?
Di sisi lain, kita berduka sekaligus murka saat Baginda Rasulullah saw. dihinadinakan dan dinistakan. Namun, apakah kita juga berduka dan murka saat al-Quran sekian lama dicampakkan; saat syariah-Nya sekian lama tak dipedulikan; dan saat hukum-hukum-Nya sekian lama tak diterapkan? Padahal bukankah demi al-Quran, syariah dan hukum-hukum-Nya, Nabi Muhammad saw. rela mengorbankan harta, keluarga, bahkan jiwanya? Jika demikian, kita pun layak bertanya kepada diri sendiri: Tuluskah ekspresi kesedihan dan kemarahan kita saat Rasulullah saw. dihinadinakan dan dinistakan? Faktanya, kita pun telah mengecewakan beliau. Bahkan kita telah benar-benar menyakiti perasaan beliau hingga beliau menangis dan mengadu kepada Allah SWT: “Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Quran ini sebagai perkara yang diabaikan.” (TQS al-Furqan [25]: 30).
‘Ala kulli hal, semoga kita tak menjadi bagian dari ‘Generasi Abu Lahab’, yang hanya bersukacita atas kelahiran Nabi Muhammad saw., tetapi saat yang sama mengabaikan al-Quran, menolak syariahnya dan enggan diatur dengan hukum-hukumnya dalam naungan Khilafah ar-Rasyidah yang telah beliau wariskan kepada kita, umatnya.