afwun menonjolkan makna MENGHAPUS sedangkan maghfiroh menonjolkan makna MENUTUP

MENGAPA DOA LAILATUL QODAR YANG DIANJURKAN NABI ADALAH MEMINTA AFWUN (MAAF) BUKAN MAGHFIROH (AMPUNAN)?

Suatu saat, Aisyah, istri kesayangan Nabi bertanya tentang doa yang sebaiknya dibaca di (malam) lailatul qodar. Jawaban Nabi disebutkan dalam hadis riwayat At-Tirmidzi berikut ini,

سنن الترمذى - مكنز (13/ 6، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ « قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى »

“Dari Aisyah, ia berkata, ‘Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku mengetahui di malam apa lailatul qodar itu, apa yang aku ucapkan di malam tersebut?’ Beliau menjawab, ‘ucapkanlah ALLAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN KARIM TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ‘ANNI’ (ya Allah, sesungguhnya engkau maha pemaaf nan mulia yang suka memaafkan, maka maafkanlah aku)”

Pertanyaannya, “Mengapa doa yang dianjurkan adalah فَاعْفُ عَنِّى (maafkan aku) bukan فاغفر لي (ampunilah aku)?”

Jawaban tepatnya tentu saja hanya Allah yang tahu.

Namun, jika dikaitkan dengan nash-nash yang lain, barangkali hal itu terkait dengan dua hal,

Pertama: Perbedaan makna ‘afwun (العفو) dengan maghfiroh (المغفرة)
Kedua : Keistimewaan lailatul qodar dengan malam-malam lainnya

Makna ‘afwun memang memiliki tekanan makna yang sedikit berbeda dengan maghfiroh. ‘afwun menonjolkan makna MENGHAPUS sedangkan maghfiroh menonjolkan makna MENUTUP.

Jadi, ketika kita meminta ‘afwun kepada Allah, hal itu bermakna kita meminta penghapusan dosa sampai hilang tak berbekas sehingga Allah batal menghukum.

Ketika kita meminta maghfiroh kepada Allah, hal itu bermakna kita meminta agar ditutup dosa-dosa kita, sehingga selamat dari terbongkarnya aib di dunia, selamat dari dipermalukan dihari penghisaban, dan penggantian dosa dengan pahala.

Meminta ‘afwun pada lailatul qodar terasa lebih relevan jika dikaitkan dengan keistemewaan lailatul qodar sebagai malam penentuan takdir.

Para ulama menjelaskan bahwa malam lailatul qodar adalah malam ditentukannya takdir, rizki dan ajal sampai setahun ke depan. An-Nawawi berkata,

شرح النووي على مسلم (8/ 57)
قَالَ الْعُلَمَاءُ وَسُمِّيَتْ لَيْلَةُ الْقَدْرِ لِمَا يُكْتَبُ فِيهَا لِلْمَلَائِكَةِ مِنَ الْأَقْدَارِ وَالْأَرْزَاقِ وَالْآجَالِ الَّتِي تَكُونُ فِي تِلْكَ السَّنَةِ كَقَوْلِهِ تعالى فيها يفرق كل أمر حكيم وَقَوْلِهِ تَعَالَى تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ ربهم من كل أمر وَمَعْنَاهُ يُظْهِرُ لِلْمَلَائِكَةِ مَا سَيَكُونُ فِيهَا وَيَأْمُرُهُمْ بِفِعْلِ مَا هُوَ مِنْ وَظِيفَتِهِمْ

“Para ulama berkata, dikatakan lailatul qodar karena pada malam itu ditulis takdir-takdir, rezeki-rezeki dan ajal-ajal untuk (dibawa) para malaikat yang akan terjadi pada tahun tersebut (setahun yang akan datang) sebagaimana (diisyaratkan) dalam firman Allah ‘FIHA YUFROQU KULLU AMRIN HAKIM’ (di malam lailatul qodar itu ditetapkan semua perkara yang sempurna), dan firman Allah, ‘TANAZZALUL MALAIKATU WARRUHU FIHA BI IDZNI ROBBIHIM MIN KULLI AMRIN (di malam lailatul qodar itu para malaikat dan Jibril turun dengan izin Rabbnya untuk menjalankan setiap perintah)’. Maknanya, Allah menampakkan kepada para malaikat di malam itu perkara yang akan terjadi dan memerintahkan mereka untuk melakukan apa yang menjadi tugas mereka.”

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa musibah-musibah dan keburukan itu adalah disebabkan dosa dan maksiat yang dilakukan seorang hamba. Allah berfirman,

{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ} [الشورى: 30]

“Musibah yang menimpa kalian adalah disebabkan tangan kalian (sendiri)-yakni dosa-dosa dan maksiat- dan Allah memaafkan banyak (dosa-sehingga tidak dihukum-)”

Karena itu,

Bisa jadi karena dosamu, maka ditahun depan engkau ditakdirkan menjadi bangkrut
Bisa jadi karena dosamu, maka ditahun depan engkau dihukum dengan penyakit kanker
Bisa jadi karena dosamu, maka ditahun depan engkau ditakdirkan akan mengalami kecelakaan
Bisa jadi karena dosamu, maka ditahun depan engkau ditakdirkan sulit punya anak
Bisa jadi karena dosamu, maka ditahun depan engkau ditakdirkan susah menikah

Bisa jadi karena dosamu, maka ditahun depan engkau menjadi berat beribadah
Bisa jadi karena dosamu, maka ditahun depan engkau pikiranmu hanya disibukkan urusan dunia
Bisa jadi karena dosamu, maka ditahun depan engkau dibenci orang-orang salih
Bisa jadi karena dosamu, maka ditahun depan engkau terhijab dari ilmu-ilmu yang bermanfaat

Dan seterusnya..

Maka ketika seorang hamba meminta ‘afwun, hal itu bermakna dia meminta PENGHAPUSAN DOSA sampai hilang tak berbekas, sehingga Allah tidak menakdirkan musibah-musibah dan keburukan kepada hamba tersebut.

Betapa agungnya doa ini !

Seolah-olah semua warna, ritme, irama, kejadian, anugerah, musibah, kebahagiaan, dan kesengsaraan hidup yang akan kita alami setahun ke depan, semuanya tergantung pada doa yang kita baca pada Lailatul Qodar tersebut!

اللهم وفقنا للخير

***
Muafa
25 Ramadan 1438 H

ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits

*PANDUAN I'TIKAF*

I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]

Dalil Disyari’atkannya I’tikaf

Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.[3]

Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[4]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]

I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]

I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. [8]

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]

Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?

Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.

Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif :
1. Meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan
2. Terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari.
Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]

Wanita Boleh Beri’tikaf

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata : Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]

Dari ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[15]

Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat :
1. Meminta izin suami dan (
2. Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]

Lama Waktu Berdiam di Masjid

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]

Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]

Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]

Yang Membatalkan I’tikaf

Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].

Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.Mandi dan berwudhu di masjid.Membawa kasur untuk tidur di masjid.

Mulai Masuk dan Keluar Masjid

Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]

Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.

Adab I’tikaf

Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]

Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan membuahkan amalan tentunya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. 

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Cuplikan dari Buku Panduan Ramadhan.

1.Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699.
2. Al Mughni, 4/456.
3. HR. Bukhari no. 2044.
4. HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.
5. Latho-if Al Ma’arif, hal. 338
6. Fathul Bari, 4/271.
7. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.
8. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.
9. Fathul Bari, 4/271.
10. Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151).
Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.
11. Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754.
12. Lihat Al Mughni, 4/462.
13. Al Mugni, 4/461.
14. HR. Bukhari no. 2041.
15. HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.
16. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.
17. Lihat Fathul Bari, 4/272.
18. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.
19. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.
20. I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama.
21. Al Inshof, 6/17.
22. Fathul Bari, 4/272.
23. HR. Bukhari no. 2041.

sabar itu adalah sabar atas bencana, sabar dengan qadha’(keputusan Allah), yang membuat kamu semakin teguh, tidak membuat kamu labil

Syeikh Atha bin Khalil Abu Rashthah
(Amir Hizbut Tahrir) :

Sesungguhnya sabar itu adalah kamu sabar mengatakan kebenaran, melakukan kebenaran, menahan penderitaan—karena keteguhanmu dengan semua itu—di jalan Allah; sabar tidak membuat kamu berpaling, lemah dan lunak.

Sesungguhnya sabar itu adalah sabar atas bencana, sabar dengan qadha’(keputusan Allah), yang membuat kamu semakin teguh, tidak membuat kamu labil; semakin membuat kamu berpegang teguh pada al-Kitab, tidak membuat kamu berpaling darinya dengan dalih beratnya musibah yang menimpamu. Sabar adalah sesuatu yang membuat seseorang bertambah dekat dengan Tuhannya, tidak membuat seseorang semakin jauh dari Tuhannya. “Maka ia menyeru dalam Keadaan yang sangat gelap: ‘Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim’.” (TQS. Al-Anbiyā’ [21] : 87).

Sesungguhnya sabar itu adalah yang mempertajam misi, dan yang mendekatkan jalan ke surga, sebagaimana kesabaran Bilal, Khubab, dan keluarga Yasir. “Tetaplah sabar, keluarga Yasir, sesungguhnya tempat yang dijanjikan kepada kalian adalah surga.” Sebagaimana kesabaran Khubaiab, dan Zaid … Seperti kesabaran orang-orang yang melawan penguasa tiran, dimana mereka sedikitpun tidak takut karena Allah terhadap celaan para pencela.

Seperti kesabaran generasi pertama yang cemerlang dan diberkati, yaitu para sahabat Rasulullah saw, yang jujur dan terpercaya; seperti kesabaran para sahabat yang menyaksikan perjanjian, mereka yang diboikot di bukit, mereka yang hijrah ke Habasyi, dan mereka yang dikejar-kejar karena mereka berkata “Allah Tuhan Kami”.

Seperti kesabaran kaum Muhajirin dan Anshar ketika mereka berjihad melawan orang-orang musyrik, Persia dan Romawi; seperti kesabaran tawanan perang kelompok Abdullah bin Abu Khudafah; seperti kesabaran para Mujahid yang beriman, yang benar dengan keimanannya.

Sabar itu adalah kamu sabar memerintahkan perbuatan yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar, serta tidak lemah di hadapan penyiksaan di jalan Allah. Sabar itu adalah kamu sabar menjadi prajurit dalam tentara kaum Muslim yang tengah bergerak untuk memerangi musuh-musuh Allah![]

MALU AKU JADI ORANG INDONESIA (Karya Taufik Ismail)

MALU AKU JADI ORANG INDONESIA
(Karya Taufik Ismail)

Di negeriku yang didirikan pejuang religius
Kini dikuasai pejabat rakus
Kejahatan bukan kelas maling sawit melainkan permainan lahan duit

Di negeriku yang dulu agamis
Sekarang bercampur liberalis sedikit komunis
Ulama ulama diancam karena tak punya pistol
Yang mengancam tinggal dor

Hukum hukum keadilan tergadai kepentingan politis
Akidah akidah tergadai materialistis

Aku hidup di negara mayoritas beragama Islam
Tapi kami tersudut dan terancam
Telah habis sabarku
Telah habis sabar kami

Pada presiden yang tak solutif
Pada dewan dan majelis yang tak bermufakat
Pada semua bullshit yang menggema saat pemilu
Pada nafsu yang didukung asing dan aseng
Rakyat kelas teri tak berdosa pun digoreng

Kusaksikan keindahan negara yang menegakkan khilafah
Diceritakan hidup mereka sejahtera
Lalu ditanyai dari mana asalku
Kusembunyikan muka
Tak kujawab aku dari Indonesia
Negara yang kini tumbuh benih islamophobia

#Spirit313aloemni212

IMAM HAMBALI Dipenjara oleh pemerintah dan dirotan belakangnya hingga hampir terlucut kainnya

BAGI PECINTA DAN PEJUANG ISLAM. DEMI MENGATAKAN YANG HAQ. 'TAKKAN PERNAH TAKUT WALAU DENGAN ANCAMAN APAPUN.

IMAM SYAFIE
Tangan dan kakinya dirantai lalu dibawa menghadap pemerintah dan hampir-hampir dipancung kerana dituduh Syiah dan pemecah-belah masyarakat.

IMAM HANAFI
Ditangkap, dipenjara, disebat, disiksa dan dipaksa minum racun oleh pemerintah lalu meninggal dunia kerana tidak bersetuju dengan dasar-dasar pemerintah.

IMAM MALIKI
Disebat dengan cemeti lebih kurang 70 kali sepanjang hayatnya oleh pemerintah kerana sering mengeluarkan kenyataan yang bertentangan dengan kehendak pemerintah.

IMAM HAMBALI
Dipenjara oleh pemerintah dan dirotan belakangnya hingga hampir terlucut kainnya kerana mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan kehendak pemerintah. Pemerintah menganggap mereka lebih betul daripada ulama.

SUFYAN AT TSAURI
Seorang wali Allah yang termasyhur. Ditangkap tanpa bicara kerana berani menegur kesalahan khalifah dan dihukum gantung tetapi sewaktu hukuman hendak dijalankan kilat dan petir menyambar pemerintah dan menteri-menterinya lalu mereka mati tertimbus tanah.

SAID BIN JUBAIR
Seorang wali Allah yang dikasihi harimau. Dibunuh kerana didakwa memecah-belahkan masyarakat, menentang kerajaan dan berkomplot untuk menjatuhkan pemerintah.

ABU YAZID AL-BUSTAMI
Wali Allah yang terkenal dengan pelbagai karamah. Dituduh sesat kerana ilmu agamanya lebih tinggi daripada pemerintah. Dihukum pancung oleh pemerintah tetapi tiada siapa berjaya memancungnya.

ABUL HUSIN AN-NURI
Wali Allah yang mampu menundukkan api. Ditangkap dan hampir dihukum kerana dia menentang tindakan pemerintah yang membenarkan minuman arak berleluasa dalam negara.

IMAM NAWAWI
Hampir-hampir dipukul dan telah dibuang negara oleh pemerintah kerana menegur tindakan pemerintah menyalahgunakan wang rakyat. Juga seorang wali Allah yang terkenal sepanjang zaman.

KITA (?)

Diganggu dikit sudah lemah semangat. Dicela dan dikutuk pun sudah terasa sakit hati.

Apakah pantas dan sanggup jadi Wali Allah dalam menegakkan Agama Allah dan Rasulullah ???

Jangan untuk menjadi wali-NYA, menyebut diri kita sebagai hamba-NYA saja masih harus berpikir ulang dengan sejuta gelar dosa yang melekat dalam diri kita.

#SekedarRenungan

Arti kata Persekusi adalah

Persekusi (bahasa Inggris: persecution) adalah perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik. Persekusi adalah salah satu jenis kejahatan kemanusiaan yang didefinisikan di dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional. Timbulnya penderitaan, pelecehan, penahanan, ketakutan, dan berbagai faktor lain dapat menjadi indikator munculnya persekusi, tetapi hanya penderitaan yang cukup berat yang dapat dikelompokkan sebagai persekusi.

rumusan Pancasila resmi saat ini, sebenarnya lahir pada 18 Agustus 1945

Sebuah tulisan ilmiah sbg bhn literasi kita..

MELURUSKAN SEJARAH PANCASILA
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Dosen Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor)

Sekali waktu, tanyakan pada anak-anak kita, “Kapan Pancasila lahir?” Mungkin mereka akan menjawab tegas, “Tanggal 1 Juni!” Jawaban itu tidak mengejutkan. Sebab, memang itu diajarkan di sejumlah buku Pelajaran Kewargaan Negara. Pada 1 Juni 2011, acara peringatan Hari Lahir Pancasila dilakukan secara besar-besaran. Hadir Presiden SBY dan dua mantan Presiden, yakni BJ Habibie dan Megawati.

Alkisah, pada 1 Juni 1945, untuk pertama kalinya, istilah “Pancasila” disebutkan oleh Bung Karno dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Pada hari itu, di forum BPUPK, Bung Karno mengusulkan rumusan dasar Negara Negara, yang terdiri atas lima sila: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan (3) Mufakat atau demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5) Ketuhanan.

Jadi, benar! Untuk pertama kalinya istilah Pancasila diangkat oleh Bung Karno pada 1 Juni. Tapi, faktanya, tiga hari sebelum pidato Bung Karno itu, yakni pada 29 Mei 1945, anggota BPUPK lainnya, Mr. Muhammad Yamin, sudah terlebih dahulu menyampaikan pidatonya yang juga memuat “lima asas” dasar bagi Indonesia merdeka, yaitu (1) peri kebangsaan (2) peri kemanusiaan (3) peri-Ketuhanan (4) peri kerakyatan dan (5) kesejahteraan rakyat.

Tidak ada perbedaan fundamental antara rumusan “lima asas” Yamin dengan “lima dasar” Soekarno. Panjang naskah pidatonya pun sama, yaitu 20 halaman. Karena itulah, B.J. Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), menyimpulkan bahwa “The Pancasila was in fact a creation of Yamin and not Soekarno’s.” (Pancasila faktanya adalah karya Yamin dan bukan karya Soekarno).

Bahkan, tentang nama Pancasila sendiri, diakui oleh Soekarno ia mengkonsultasikan nama itu kepada seorang ahli bahasa, yang tidak lain adalah Muhammad Yamin. Dalam buku Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila (Inti Idayu Press, 1984) disebutkan, bahwa Soekarno pada tahun 1966 mengakui, kata “sila” adalah sumbangan Yamin, sedangkan kata “Panca” berasal dari dirinya. (Lihat, Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: GIP, 1997),hal. 18-19). Juga, Restu Gunawan, Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005), hal. 48-50).

Jadi, peringatan kelahiran Pancasila pada 1 Juni dan menyandarkannya pada Bung Karno semata, masih perlu penelaahan sejarah yang lebih serius. Bukti-bukti sejarah jutru menunjukkan, bahwa rumusan Pancasila resmi saat ini, sebenarnya lahir pada 18 Agustus 1945. Oleh sebab itu, lebih tepat jika hari lahir Pancasila disebut tanggal 18 Agustus 1945. Tanggal 1 Juni adalah peringatan Pidato Bung Karno yang mengungkapkan istilah Pancasila, dan bukan Hari Lahir Pancasila, sebagaimana rumusan saat ini.

Bahkan, embrio rumusan resmi Pancasila sebenarnya sudah ditetapkan oleh Panitia Sembilan BPUPK, yaitu Pancasila versi Piagam Jakarta (Pembukaan UUD 1945). Bedanya dengan rumusan resmi, hanya terletak pada “tujuh kata” pada sila pertama, yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Adil dan beradab
Jadi, Pancasila sebenarnya bukanlah rumusan seorang Bung Karno sendirian. Pancasila saat ini adalah hasil kesepakatan tokoh-tokoh bangsa yang memiliki berbagai aspirasi ideologis, termasuk para tokoh Islam yang tergabung dalam Panitia Sembilan di BPUPK, yaitu KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Abdul Kahar Muzakkir.

Tokoh Masyumi, Mr. Mohamad Roem pernah mengingatkan kekeliruan pengkultusan seseorang dalam soal perumusan dan pemaknaan Pancasila. Di masa Orde Lama (1959-1965), pemikiran Soekarno banyak dijadikan sebagai tafsir baku terhadap Pancasila. Soekarno ditempatkan sebagai penafsir tunggal atas Pancasila. Padahal, menurut Mr. Mohamad Roem, Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, bukan lagi merupakan pikiran Soekarno semata. Ia telah merupakan buah pemikiran para anggota BPUPK, khususnya yang tergabung dalam Panitia Kecil (Panitia Sembilan). (Dikutip dari makalah Mohamad Roem, Lahirnya Pancasila, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).
Tentu saja, ada perbedaan mendasar antara rumusan Pancasila versi 1 Juni 1945 dengan Pancasila rumusan resmi saat ini. Ambil contoh rumusan sila kedua. Rumusan Soekarno (Internasionalisme atau Perikemanusiaan) maupun Yamin (perikemanusiaan), sangat berbeda dengan rumusan resmi: Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Rumusan resmi itu membuktikan, bahwa Pancasila tidaklah berasal dari zaman pra-Islam. Sebab, istilah “adil” dan “adab” baru dikenal oleh seluruh manusia di wilayah Indonesia dan Nusantara, setelah kedatangan Islam. Kata “adil” dan “adab” termasuk sebagian dari istilah-istilah pokok dalam Islam yang dipahami secara universal oleh kaum Muslimin di mana pun (Islamic basic vocabularies). Sama dengan istilah “hikmah” dan “musyawarah”.

Jika belum yakin dengan paparan ini – dan anda masih percaya bahwa Pancasila adalah produk asli bumi Indonesia dari zaman pra-Islam -- silakan mencoba menerjemahkan seluruh sila Pancasila ke dalam bahasa Jawa dan bahasa daerah lainnya!

Jadi, soal kemanusiaan, misalnya, sudah mengalami perubahan mendasar, dengan penambahan kata ”adil” dan ”beradab”. Dalam Islam, adab merupakan konsep pokok yang menentukan jatuh bangunnya suatu masyarakat. Imam as-Syafi’i, pernah ditanya, bagaimana dia mengejar adab. Ia menjawab, ”Aku akan selalu mencarinya seperti seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.”

Sesuai sila keempat, misalnya, rakyat Indonesia harusnya selalu berusaha mencari bimbingan hikmah; bukan suara terbanyak; bukan bimbingan klenik atau takhayul. Jika para pemimpin Indonesia mau mengamalkan Pancasila, harusnya mereka lebih menerima kebenaran wahyu, ketimbang konsep klenik.

Di era reformasi dan kebebasan saat ini, konon, anak-anak sekolah dan mahasiswa akan kembali disajikan pelajaran Pancasila. Belum jelas benar, “Pancasila” seperti apa yang akan diajarkan di sekolah-sekolah. Orde Lama yang sempat memadukan nasionalis-agama-komunis, telah dikoreksi oleh Orde Baru. Tapi, Orde Baru yang berslogan mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen pun akhirnya terpuruk.

Kita berharap, pengambil kebijakan tidak keliru memahami dan meletakkan Pancasila pada tempatnya. Pancasila jangan sampai menggantikan peran agama sebagai worldview maupun pedoman amal. Jangan bertanya, apa konsep Tuhan menurut Pancasila. Sebab, konsep Tuhan sudah dijelaskan oleh agama. Juga, jangan lagi menjadikan Pancasila sebagai konsep amal. Jangan pernah bertanya, bagaimana cara makan, minum, dan gosok gigi menurut Pancasila!

Sebagai Muslim, kita nasehati anak kita, “Singkirkan duri di jalan, sebab itu anjuran Rasulullah saw!” Kita tidak menasehati anak kita, “Singkirkan duri di jalan, sebab itu sesuai sila kedua Pancasila.”
Istilah populernya: “Jangan mengagamakan Pancasila dan jangan mempancasilakan agama!” Karena itu, agar tidak salah, belajarlah sejarah! Wallahu a’lam bil-shawab! (***)

bantulah aku untuk berpuasa dan shalat malam serta jauhkan aku dari kesia-siaan dan perbuatan dosa

SAHUR...SAHUR...SAHUR...🗣🗣🗣


اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ فِيْهِ عَلَى صِيَامِهِ وَ قِيَامِهِ وَ جَنِّبْنِيْ فِيْهِ مِنْ هَفَوَاتِهِ وَ آثَامِهِ وَ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ ذِكْرَكَ بِدَوَامِهِ بِتَوْفِيْقِكَ يَا هَادِيَ الْمُضِلِّيْنَ

Allâhumma a’innî fîhi ‘alâ shiyâmihi wa qiyâmihi wa jannibnî fîhi min hafawâtihi wa âtsâmihi warzuqnî fîhi dzikrika bidawâmihi bitaufîqika Yâ hâdiyal mudhillîn

 Artinya :
"Ya Allah, bantulah aku untuk berpuasa dan shalat malam serta jauhkan aku dari kesia-siaan dan perbuatan dosa. Anugrahi aku di dalamnya dengan dawamnya ingat pada-Mu dengan taufik-Mu wahai yang menunjuki orang tersesat”.
 

Properti Syariah



Pasang Depot Air Minum Isi Ulang


.
Besi Beton + Wiremesh Murah


© 2011 - | Buku PR, TUGAS, dan Catatan Sekolah | www.suwur.com | pagar | omaSae | AirSumber | Bengkel Omasae, | Tenda Suwur |