[iklan]

Goeroe Ordonnantie Pasca Reformasi HARI INI · PUBLIK

Goeroe Ordonnantie Pasca Reformasi

HARI INI · PUBLIK

Di masa pemerintahan kolonial, para haji dan ustadz harus mengantongi izin. Kini Menteri Agama pun berencana mensertifikasi khatib dan mubaligh. Opo tumon?

Di antara berbagai kebijakan pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang sangat menekan ummat Islam di masa lampau adalah munculnya Goeroe Ordonnantie atau Peraturan Pemerintah tentang Guru. Goeroe Ordonnantie pertama dikeluarkan tahun 1905. Dengan Ordonansi ini, Pemerintah Hindia Belanda mewajibkan setiap guru agama Islam meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum mulai bertugas sebagai seorang guru agama. Goeroe Ordonnantie ke dua dikeluarkan tahun 1925. Berbeda dengan Goeroe Ordonnantie pertama, Goeroe Ordonnantie ke dua hanya mewajibkan guru agama melaporkan diri. Namun kedua ordonansi ini sama fungsi: menjadi media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam di negeri ini.[1]

Goeroe Ordonnantie digagas pemerintah kolonial Hindia-Belanda pasca pemberontakan petani Cilegon, Banten, 1888. Saat itu, –tahun 1890— Karel Frederik Holle, Penasehat Kehormatan untuk Urusan Pribumi di Departemen Layanan Sipil (Adviseur Honorair voor Inlandsche Zaken bij het departement van Binnenlandsch Bestuur) menyarankan agar pendidikan agama Islam diawasi. Sebab, kata Holle, pemberontakan petani Banten dimotori para haji dan guru-guru agama. Maka sejak itu terjadilah pengejaran dan perburuan para guru agama alias ustadz dan kiai di Pulau Jawa.

Demi penyeragaman pengawasan guru-guru agama Islam, Holle menyarankan agar Bupati melaporkan daftar guru di daerahnya setiap tahun. Lalu, pada tahun 1904, Snouck Hurgronje –pengganti Holle— mengusulkan agar pengawasan terhadap guru-guru agama meliputi adanya izin khusus dari Bupati, daftar guru dan muridnya, sementara pengawasan oleh Bupati harus dilakukan suatu panitia. Setahun kemudian, lahirlah peraturan tentang pendidikan agama Islam yang terkenal dengan sebutan Goeroe Ordonnantie. Ordonansi dinyatakan berlaku di Jawa-Madura kecuali di Yogyakarta dan Solo, dan diundangkan dalam Staatsblaad 1905 nomor 550.[2]

Salah satu isi Goeroe Ordonnantie yang dimuat dalam Staatsblaad 1905 nomor 550 ini antara lain adalah: Seorang guru agama Islam baru dibenarkan mengajar bila sudah memperoleh izin dari Bupati. Izin itu baru diberikan apabila guru agama itu jelas-jelas bisa dinilai sebagai “orang baik”, dan pelajaran yang diberikannya tidak bertentangan dengan keamanan ketertiban umum. Guru agama Islam itu harus mengisi daftar murid, di samping harus menjelaskan mata pelajaran yang diajarkannya. Bupati atau instansi yang berwewenang boleh memeriksa daftar itu sewaktu-waktu. Guru agama Islam bisa dihukum kurungan maksimum delapan hari atau denda maksimum dua puluh lima rupiah, bila ternyata mengajar tanpa izin, atau lalai mengisi atau mengirimkan daftar itu; atau enggan memperlihatkan daftar itu kepada yang berwewenang, berkeberatan memberikan keterangan, atau enggan diperiksa oleh yang berwewenang. [3]

Dua dasa warsa berselang, Goeroe Ordonnantie 1905 yang mewajibkan guru-guru agama Islam meminta “izin praktek”, dinilai kurang efisien. Sebab, laporan tentang guru agama dan aktivitasnya –yang secara periodik dilaporkan Bupati— dinilai kurang meyakinkan. Di samping itu, situasi politik pada masa itu dinilai sudah tak lagi memerlukan “pemburuan” guru agama. Maka, pada tahun 1925 dikeluarkanlah Goeroe Ordonnantie yang baru. Ordonansi baru ini hanya akan mewajibkan guru agama memberitahukan kegiatan mereka, bukan lagi untuk meminta izin. Namun, beleid baru ini tak hanya berlaku di Jawa-Madura saja. Sejak Januari 1927, Goeroe Ordonnantie kedua juga diberlakukan di wilayah Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado, dan Lombok. Pada tahun tiga puluhan Goeroe Ordonnantie kedua berlaku pula di Bengkulu.[4]

Dalam prakteknya, seperti Goeroe Ordonnantie pertama, Goeroe Ordonnantie kedua juga bisa digunakan untuk menghambat pengajaran agama Islam. Padahal, itu bukan tujuan yang tercantum dalam ketentuan ordonansi baru ini. Karena itu, beberapa pimpinan organisasi Islam mengeluh. Ketua Umum Muhammadiyah H. Fachruddin mengatakan, sejak diumumkannya ordonansi itu, berbagai rintangan ditimbulkan untuk menghalangi kemajuan dan penyebaran Islam di Indonesia. Kongres Al-Islam di Bogor pada 1 – 5 Desember 1926, juga menolak cara pengawasan terhadap pendidikan agama dengan Ordonansi baru ini. Bahkan, dalam Kongres XVII, 12 – 20 Februari 1928, Muhammadiyah dengan sangat keras menuntut agar Goeroe Ordonnantie ditarik kembali.

Kaum muslimin di Sumatera Barat juga menentang, ketika pemerintah kolonial bermaksud hendak menerapkan Goeroe Ordonnantie kedua di daerah itu. Pada tahun 1935, Snouck Hurgronje masih berpendapat bahwa Goeroe Ordonnantie masih perlu dipertahankan, meski dengan beberapa usul perubahan. Namun ternyata, situasi kolonial telah berubah, dan nasehat Snouck Hurgronje, sang arsitek Goeroe Ordonnantie 1905, sudah tidak ampuh lagi. Goeroe Ordonnantie akhirnya kehilangan urgensinya dan akhirnya menghilang dari peredaran.[5]

Pembatasan lain yang dibuat pemerintah kolonial Hindia-Belanda adalah Ordonansi Pengawasan tahun 1923. Berdasarkan peraturan pemerintah kolonial itu, setiap orang yang mendirikan lembaga pendidikan, harus memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada kepala daerah setempat, dengan menyebutkan cara pengajaran dan tempat mengajarnya. Ordonansi Pengawasan ini lahir ketika pemerintah kolonial mengadakan penghematan akibat merosotnya ekonomi dunia, sehingga terpaksa memperendah aktivitasnya, termasuk di dalam bidang pendidikan.

Namun, kebijakan pemerintah kolonial ini membawa akibat sangat majunya pendidikan Kristen di Hindia-Belanda. Sementara, keinginan orang-orang pribumi untuk memperoleh pendidikan Barat juga makin berkembang. Ketidakmampuan pemerintah kolonial dalam mengatasi arus yang justru sejalan dengan apa yang mereka galakkan selama ini mengakibatkan munculnya sekolah-sekolah swasta pribumi, yang kemudian dikenal sebagai “wilde schoolen” atau sekolah liar. Tapi karena pengelola dan kurikulum sekolah itu dinilai tak memenuhi syarat pemerintah, ijazah sekolah-sekolah itu akhirnya tidak diakui di kantor-kantor resmi. Sekolah-sekolah liar ini didirikan oleh kaum pergerakan pribumi dan dimasuki oleh anak-anak pribumi.[6]

Keluarnya Ordonansi Pengawasan tak lepas dari keinginan pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk mengontrol dan mengendalikan perkembangan yang terjadi pada tahun 1923. Sebab, saat itu banyak organisasi pribumi yang cenderung mengambil sikap non-kooperatif dan menolak keras imperialisme. Situasi ini mencemaskan pemerintah kolonial, apalagi kesadaran nasional rakyat Indonesia sering dinilai identik dengan komunisme. Awalnya pengawasan melalui Ordonansi 1923 hanya bersifat wajib lapor bagi penyelenggara lembaga pendidikan. Namun, para pejabat kolonial menghendaki pengawasan yang lebih ketat lagi, bahkan jika perlu penindakan terhadap sekolah-sekolah liar ini. Maka, pada 17 September 1932, keluarlah Toezicht-ordonantie Particulier Onderwijs, atau lebih dikenal dengan Ordonansi Pengawasan Sekolah Liar yang mulai berlaku pada 1 Oktober 1932.[7]

Namun, reaksi keras langsung bermunculan. Reaksi tak hanya datang dari organisasi-organisasi Islam. Kalangan organisasi nasional pun bersikap keras terhadap ordonansi baru. Taman Siswa, yang seluruh sekolahnya terkena ketentuan Ordonansi Pengawasan Sekolah Liar, bertekad melawan peraturan baru itu secara pasif. Sarekat Islam --yang sejak 1932 menjelma menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)— juga mengumumkan manifesto untuk menentang pemberlakuan Ordonansi Pengawasan Sekolah Liar. Konferensi Dewan Pendidikan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Sumatera Barat pada 26 – 27 Desember 1932, juga memutuskan bahwa Ordonansi Pengawasan Sekolah Liar telah melanggar dasar-dasar Islam dan dasar-dasar umum, di samping akan mengurangi kebebasan bangsa Indonesia mengatur dan membangun pendidikannya sendiri.[8]

Para ulama Minangkabau bahkan beranggapan bahwa pemberlakuan Ordonansi Pengawasan Sekolah Liar adalah upaya percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Mereka pun menuduh pemerintah kolonial telah menguntungkan kalangan Kristen. Karena itu, mereka memutuskan untuk berjuang hidup atau mati untuk Islam, dan membentuk panitia aksi yang diketuai Haji Rasul. Sedangkan Muhammadiyah yang pada mulanya masih menunjukkan sikap ragu –mungkin karena sebagian kecil sekolahnya telah memperoleh subsidi dari pemerintah Hindia-Belanda— akhirnya juga menolak pemberlakuan Ordonansi Pengawasan Sekolah Liar berdasarkan Konferensi Darurat 18 – 19 November 1932 di Yogyakarta.[9]

Tak hanya kelompok-kelompok dan lembaga pendidikan Islam yang memprotes, partai-partai nasionalis juga menentang Ordonansi Pengawasan Sekolah Liar. Di antara partai-partai yang menentang ordonansi itu adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (Partindo), dan Isteri Sedar. Bahkan, organisasi yang dianggap paling loyal kepada pemerintah kolonial seperti Budi Utomo, menentang keras pemberlakuan ordonansi ini. Budi Utomo bahkan bertekad akan menarik anggota-anggotanya dari berbagai lembaga perwakilan, jika pada 21 Maret 1933 Ordonansi Pengawasan Sekolah Liar belum ditarik kembali. Budi Utomo juga akan menutup sekolah-sekolah mereka dan memberikan bantuan keuangan kepada para korban perlawanan pasif. Kondisi ini akhirnya memaksa pemerintah Hindia-Belanda untuk mengikuti kemauan mereka. Maka, pada pertengahan Februari 1933 Ordonansi Sekolah Liar akhirnya dinyatakan ditarik kembali.[10]

Maka sungguh janggal rasanya, ketika kini Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan tentang perlunya sertifikasi dan standarisasi khatib Jum’at. Alasannya, “Agar tidak sembarang orang bisa menjadi khatib,” ujarnya. Tentu saja rencana ini dipertanyakan. Bahkan sebagian orang menduga sertifikasi ini hanya untuk membungkam para muballigh dan ustadz bersuara keras yang kerap mengritik pemerintah.

Namun menurut Lukman, rencana itu bukan merupakan bentuk represif dari pemerintah atau membatasi seseorang menyebarluaskan ajaran agama. Sebab sertifikasi itu tidak bersifat wajib. “Tapi setidaknya publik mengetahui, tidak semua da’i dan mubaligh bersertifikat. Biarlah publik yang menilai itu semua. Saya lebih senang, khatib yang bersertifikat. Walaupun ada yang tidak sertifikat,” ujarnya di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta, Selasa (24/01/2017).

Tapi bukankah kita tahu bahwa di lapangan becek di tanah air kita, beleid yang indah pun bisa gampang diselewengkan? Lalu untuk apa pula pemerintah mengulang langkah pemerintah kolonial Hindia Belanda, sementara tentangan keras pasti akan terjadi? Semoga ummat Islam di Indonesia tak sedang hendak dibenturkan dengan bangsa dan negaranya sendiri.

[1] Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. LP3ES. Jakarta. 1985. hlm 51 – 52.

[2] Aqib Suminto. ibid. hlm 52.

[3] Aqib Suminto. ibid. hlm 52.

[4] Aqib Suminto. ibid. hlm 53 – 54.

[5] Aqib Suminto. ibid. hlm 54 – 58.

[6] Aqib Suminto. ibid. hlm 54 – 58.

[7] Aqib Suminto. ibid. hlm 60 – 61.

[8] Aqib Suminto. ibid. hlm 62.

[9] Aqib Suminto. ibid. hlm 62 – 63.

[10] Aqib Suminto. ibid. hlm 63

0 komentar


. . .
 
© 2011 - | Buku PR, TUGAS, dan Catatan Sekolah | www.suwur.com | pagar | omaSae | AirSumber | Bengkel Omasae, | Tenda Suwur | Versi MOBILE