Emakku adalah sosok wanita yang kukagumi di dunia ini.
Dia sangat sabar. Apalagi menghadapi kelakuan Mbak Ika, yang satu tahun belakangan ini mulai memburuk padanya semenjak ditinggal Bapak. Kerjanya setiap hari hanya marah dan marah melulu.
“Ratih...Ratih....Bangun!” teriak Mbak Ika.
Kulihat jam dinding masih menunjukkan angka 4, ya, pagi.
“Malas,” jawabku ogah-ogahan sambil merapatkan kembali selimut.
“Ayo bangun! Jangan malas-malasan begitu,” ucapnya seraya merih selimutku kasar.
“Kenapa sih, sirik amat,” ucapku sambil mengucek-ucek mata.
“Kamu tahu nggak kunci yang aku taruh di meja makan kemarin?” tanyanya.
“Enggak,” jawabku singkat dan mengangkat bahu.
“Pasti dia lagi,” sungutnya.
“Dia lagi, dia lagi siapa?”
“Yaah siapa lagi kalau bukan Emak? Biang keladi semua masalah di rumah ini,” jawabnya sinis.
“Hush!! Nggak baik bilang seperti itu pada orang tua, kualat nanti.”
“Biarin saja,” seenaknya dia menjawab sambil berlalu.
“Maak Emaak!” teriak Mbak Ika lantang.
“Ada apa, Nduk?” tanya Emak.
“Tahu nggak kunci yang aku taruh di meja ini kemarin? Itu lho kunci warna putih yang ada gantungannya berbentuk mawar,” tanyanya sedikit membentak.
“O ituu. Kemarin emak simpan di laci meja itu mungkin. Emak juga agak lupa,” jawab Emak pelan.
“Makanya! Kalau sudah merasa pikun, jangan membenahi barang-barang yang bukan milik Emak. Yang punya barang jadi gila karena bingung mencarinya,” sungut Mbak IKa.
“Sudah-sudah. Gitu saja ribut. Yang penting kuncinya sudah ketemu. Nggak pantas didengar tetangga, setiap hari ribuuut...
melulu,” leraiku.
“Bukannya ‘gitu. Aku kan nggak akan marah kalau Emak nggak salah. Dasar orang tua! Sudah mulai pikun,” umpatnya.
Aku hanya geleng-geleng kepala sedangkan Emak segera beranjak ke dapur dengan wajah sedih.
Pulang sekolah dengan wajah jengkel aku memasuki halaman rumah.
....
“Mak!! Emak!!!” teriak Mbak Ika.
“Pasti ada yang tidak beres,” gumamku.
“Lihat baju ini!” teriaknya sambil menyodorkan sebuah baju ke hadapan Emak.
“Ada apa dengan baju ini?” tanya Emak.
“Ada apa, ada apa, masa nggak lihat ada apa di baju ini. Lihat!
Apa ini?” tanyanya dengan membentak.
“Emak tidak tahu, Nduk.”
“Nggak tahu, nggak tahu gimana? Tadi, saat aku cuci nggak ada noda kayak gini. Tapi kok sekarang ada? Siapa tadi yang mengambil dari jemuran?”
“Emak.”
“Nah! Sekarang ngaku saja kalau memang Emak yang membuat noda di baju ini,” bentaknya kasar.
“Benar, Nduk. Emak memang nggak tahu. Untuk apa Emak bohong sama kamu?”
“Halaahh!! Sudah, pokoknya sekarang harus dicuci sampai bersih. Awas, kalau nanti nodanya nggak hilang, nggak aku beri uang belanja buat besok,” ancam Mbak Ika.
“Sudahlah. Biar aku saja yang mencuci baju itu,” tawarku.
“Nggak perlu! Orang tua seperti ini perlu diberi pelajaran supaya jera,” bentaknya.
Akupun langsung diam.
....
Sore hari saat aku sedang menonton TV, Mbak Ika tiba -tiba memanggilku.
“Rat, tahu nggak siapa yang membuka lemariku?” tanyanya.
“Enggak tuh. Memangnya aku masuk ke kamar Mbak,” jawabku enteng.
“Emak ke mana?” tanyanya lagi.
“Sedang tidur. Jangan diganggu dulu karena Emak agak tidak enak badan,” jawabku.
Lalu aku menguntitnya berjalan menuju kamar Emak.
“Mak bangun! Ada hal penting yang akan aku tanyakan,”
ucap Mbak Ika kasar sambil menggoyang-goyangkan tubuh Emak.
Emak terbangun dengan geragapan.
“Emak tadi, buka-buka lemari pakaianku nggak?” tanyanya.
“Iya. Memangnya ada apa, Nduk?” tanya Emak agak gugup karena belum hilang rasa kagetnya.
“Nggak ada apa-apa sih. Tapi, uangku lima puluh ribu rupiah hilang. Emak yang mengambil?” tanya Mbak Ika dengan nada menuduh.
“Kalau masalah uang, Emak tidak tahu menahu, Nduk. Dan Emak tidak mengambilnya, betul Nduk,” jawab Emak melas.
“Halaahh!! Jangan pasang muka nggak berdosa kaya gitu.
Aku yakin, pasti Emak yang mengambil, siapa lagi?? Namanya pencuri di mana-mana pun tidak akan ngaku kalau nggak disiksa dulu,” cerocos Mbak Ika sengit.
“Aduh Nduk, kamu nggak percaya,” ucap Emak yang mulai menangis.
“Iya Mbak. Masa nggak kasihan sama Emak. Jangan menuduh dulu sebelum ada bukti,” ucapku membela Emak.
“Apa belum cukup buktinya?! Ngaku saja,” bentaknya.
“Nggak, Nduk. Emak memang nggak mengambilnya,” isak Emak.
“Ngaku nggak?! Ayo ngaku, ngaku, ngaku, ngakuuu!!,”
teriak Mbak Ika sambil memukuli Emak dengan gagang sapu.
“Aduh Nduk, sakiiit,” ucap Emak Kesakitan.
“Mbak!! Kamu ini punya otak nggak ha?! Dibilang sudah besar tapi nggak punya pikiran, dibilang masih kecil tapi badannya sudah bongsor. Kamu ini kejam. Sakiit tahu, sakiit.
Apa kamu mau dipukuli seperti itu,” teriakku penuh amarah.
....
“Rat, Emak nggak apa-apa kan?! tanyanya sedikit gugup.
Baru kali ini dapat kulihat sinar kekhawatiran di matanya karena selama ini, yang ada di sana hanyalah sinar kemarahan dan kebencian.
“Rat, kamu kok diam saja sich,” ucapnya gemetar.
“Ik....Ika...,” panggil Emak lirih.
“Ya, Mak,” jawabnya pelan.
“Syukurlah kalau kamu sudah datang. Emak hanya ingin minta maaf atas segala perbuatan Emak yang kau anggap salah.
Nduk, selama ini Emak merasa tidak pantas untuk menjadi ibumu. Sebenarnya Emak haus akan kasih sayangmu, Nduk, tapi bila kamu memang tidak menghendaki kehadiran Emak, ya tidak apa-apa,” sunyi sekejap.
“Emak sudah memaafkan segala perbuatanmu pada Emak.
Dan Emak tidak menyalahkan kamu, Nduk, karena itu Nduk, karena itu hanyalah luapan amarah semata. Emak hanya minta agar kamu nggak mengulanginya lagi. Rukun-rukunlah kamu dengan adikmu,” jelas Emak.
Kulihat wajah Emak yang penuh derita. Namun, di sana kutemui gurat-gurat kasih sayang dan kelegaan.
“Iya Mak, aku pun juga mau minta .....”
“Maaaaak!!” teriakku memotong ucapan Mbak Ika.
Saat dia sadar apa yang telah terjadi, dia lunglai dan jatuh bersimpuh. Seketika dia langsung menciumi kedua kaki Emak sambil tidak berhenti memanggilnya.Selesai.
Sumber : cerpen karya Widiyati dari kumpulan cerpen Kupu-Kupu di Bantimurung