BUNGA SEPATU
Hujan deras mengguyur desa kecil itu sejak pagi, membasahi jalan tanah yang berubah menjadi lumpur licin. Di tengah guyuran hujan, sebuah rumah tua berdiri tegak di ujung desa. Rumah itu dikenal sebagai “Rumah Bunga Sepatu”, dinamakan demikian karena halaman depannya penuh dengan pohon bunga sepatu yang berbunga merah menyala. Namun, tak ada yang berani mendekatinya.
Konon, ada misteri yang menyelimuti rumah itu. Pemiliknya, seorang perempuan tua bernama Bu Surti, sudah lama meninggal. Namun, bunga-bunga di halaman rumahnya tetap berbunga lebat meski tak ada yang merawatnya. Warga desa sering mendengar cerita bahwa setiap kali ada bunga sepatu yang layu, akan ada orang di desa yang meninggal secara mendadak.
Rahasia di Balik Rumah Tua
Lina, seorang mahasiswa arkeologi, baru saja tiba di desa itu untuk menyelesaikan penelitiannya. Ia menginap di rumah pamannya, Pak Darmo, yang tak jauh dari Rumah Bunga Sepatu. Ketertarikannya pada rumah tua itu tak bisa ia sembunyikan. Sebagai seorang yang gemar mencari tahu, Lina merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar cerita rakyat.
“Jangan pernah mendekati rumah itu, Lina,” kata Pak Darmo dengan nada serius saat Lina mulai bertanya-tanya. “Rumah itu membawa sial. Banyak orang desa yang sudah menjadi korban.”
Lina hanya tersenyum kecil. “Tapi, Paman, bukankah semua itu hanya mitos? Saya rasa, pasti ada penjelasan logis di balik semuanya.”
Pak Darmo menggelengkan kepala. “Percaya atau tidak, ini bukan soal logika. Lebih baik kamu tidak terlibat.”
Namun, rasa penasaran Lina semakin membuncah. Ia memutuskan untuk mengunjungi rumah itu keesokan harinya, meskipun cuaca masih belum bersahabat.
Pertemuan Pertama dengan Rumah Bunga Sepatu
Pagi itu, Lina mengenakan jas hujan dan menyusuri jalan becek menuju rumah tua tersebut. Ketika ia tiba di depan pagar berkarat yang melingkari halaman, hawa dingin seperti menyelimuti tubuhnya. Angin membawa aroma bunga sepatu yang pekat, seolah mengundangnya masuk.
“Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” gumam Lina sambil membuka pagar yang berbunyi berdecit. Halaman itu penuh dengan bunga sepatu yang berwarna merah terang, menciptakan pemandangan yang kontras dengan kelabu langit di atas.
Saat melangkah masuk, Lina merasakan sesuatu yang aneh. Udara di sekitarnya terasa berat, dan suara burung yang biasanya ramai di pagi hari lenyap entah ke mana. Ia berdiri di depan pintu kayu besar yang sudah usang, lalu mengetuknya.
Ketukan itu menggema, namun tidak ada jawaban. Lina membuka pintu itu perlahan. Anehnya, pintu itu tidak terkunci. Di dalamnya, ia menemukan ruangan penuh debu dan sarang laba-laba. Di sudut ruangan, ada sebuah meja kayu dengan vas berisi bunga sepatu segar.
“Siapa yang menaruh bunga di sini?” pikir Lina dengan dahi berkerut. Ia merasa ada yang memperhatikannya, tapi ketika ia menoleh, tidak ada siapa pun.
Temuan yang Mengerikan
Lina mulai menjelajahi rumah itu. Ia menemukan foto-foto tua yang tergantung di dinding, menunjukkan Bu Surti bersama seorang gadis kecil. Namun, ada satu foto yang membuatnya merinding. Di foto itu, Bu Surti memegang seikat bunga sepatu dengan wajah yang terlihat sangat marah.
Tiba-tiba, Lina mendengar suara langkah kaki dari lantai atas. Jantungnya berdegup kencang. Ia memutuskan untuk naik dan memeriksa. Tangga kayu itu berderit di setiap langkahnya.
Di lantai atas, ia menemukan sebuah kamar dengan pintu yang terbuka sedikit. Di dalamnya, ada tempat tidur dengan kain lusuh yang sudah robek. Di atas meja kecil di samping tempat tidur, Lina melihat sebuah buku harian tua. Ia membukanya dengan hati-hati.
Buku itu berisi tulisan tangan Bu Surti. Semakin Lina membaca, semakin jelas bahwa Bu Surti menyimpan dendam terhadap warga desa. Dalam salah satu halaman, tertulis:
*"Bunga-bunga ini adalah saksi atas semua yang mereka lakukan padaku. Mereka akan membayar semuanya. Aku akan memastikan setiap bunga layu membawa kutukan pada mereka." *
Lina merasa bulu kuduknya meremang. Ia baru saja menutup buku itu ketika ia mendengar suara berbisik, “Pergi dari sini…”
Pertemuan dengan Bayangan
Ketika Lina berbalik, ia melihat bayangan hitam berdiri di sudut ruangan. Bayangan itu tidak memiliki wajah, tetapi aura yang dipancarkannya membuat Lina terpaku. Bayangan itu menunjuk ke arah jendela.
“Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Lina dengan suara gemetar. Tapi bayangan itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia perlahan menghilang.
Lina berlari keluar dari rumah itu dengan napas tersengal-sengal. Ketika ia sampai di rumah Pak Darmo, ia menceritakan semuanya. Pak Darmo hanya bisa menggelengkan kepala. “Sudah kubilang, Lina, jangan mendekati rumah itu.”
Namun, Lina merasa ia belum menemukan semua jawabannya. Ia memutuskan untuk kembali keesokan harinya, kali ini dengan membawa kamera dan peralatan dokumentasi.
Kebenaran yang Terungkap
Hari berikutnya, Lina kembali ke Rumah Bunga Sepatu. Kali ini, ia menemukan sesuatu yang baru di halaman rumah itu. Salah satu bunga sepatu telah layu dan jatuh ke tanah. Lina mengambil foto bunga itu dan mencoba mencari petunjuk lebih lanjut.
Ketika ia masuk ke dalam rumah, ia menemukan sebuah pintu rahasia di bawah tangga. Di dalamnya, terdapat sebuah ruang bawah tanah yang gelap. Dengan menggunakan senter, Lina melihat ada tumpukan buku tua dan catatan-catatan lainnya.
Ia menemukan bahwa Bu Surti pernah menjadi tabib desa, namun diusir oleh warga karena dianggap melakukan sihir hitam. Bunga sepatu di halaman itu ternyata ditanam di atas tanah yang digunakan Bu Surti untuk melakukan ritual balas dendamnya.
Namun, catatan terakhir Bu Surti membuat Lina terkejut. Tertulis bahwa kutukan itu hanya akan berhenti jika seseorang dengan niat baik menanam ulang bunga-bunga tersebut di tanah yang baru.
Akhir yang Baru
Lina memutuskan untuk menggali bunga-bunga sepatu itu dan memindahkannya ke ladang kosong yang jauh dari desa. Ia percaya bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri kutukan yang sudah lama membayangi desa tersebut.
Setelah semua bunga dipindahkan, suasana desa perlahan berubah. Tidak ada lagi kematian mendadak, dan warga mulai merasa tenang. Namun, Lina tahu, cerita Rumah Bunga Sepatu akan selalu menjadi pengingat tentang kekuatan dendam dan pentingnya niat baik untuk meluruskannya.
Di akhir kunjungannya, Lina meninggalkan desa dengan perasaan lega. Namun, sebelum ia pergi, ia menoleh sekali lagi ke arah rumah tua itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa rumah itu terlihat damai.
Posting Komentar