Janda Berkelas
(Part 6)
Oleh: Ana Sholikha
Dinginnya malam di bulan Juli akan memaksa siapa saja untuk menarik selimut saat ingin lelap di peraduan. Cuaca seperti ini tak jarang membuat orang enggan bangun dari mimpi indahnya.
Hal itu tidak berlaku untuk Syafa. Ujian hidup yang mengantarkannya menjadi janda justru membawa hikmah tersendiri. Kini ia lebih dekat dengan Penciptanya. Saat ini hampir tak pernah dilewatkannya sepertiga malam untuk menyapa Zat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang bagi setiap hamba-Nya.
Tak terkecuali di penghujung malam ini. Pukul 02.30 WIB Syafa sudah terjaga dari pembaringannya. Segera diambilnya air wudu. Dibentangkannya sajadah. Dinikmatinya setiap gerakan dan bacaan mulai takbiratul ihrom hingga salam. Sebelum curhat ke makhluk, Syafa terlebih dahulu mengadu masalah hidupnya ke Sang Khalik.
Dengan suara lirih dan hampir tak terdengar munajatnya dipanjatkan.
"Ya Allah... Hamba tak menyangka peristiwa demi peristiwa datang dan pergi silih berganti begitu cepatnya. Apakah ini kesempatan yang Engkau berikan kepadaku... Untuk membuktikan ujaran yang pernah terlontar dari lisan yang penuh dosa ini... ..."
Benak Syafa pun menyelam dalam memori dua tahun silam.
-+-+-+-+-+-+-+
"Mbak, saya sekarang juga istrinya mas Edo ya. Kalau Mbak belum terima juga, berarti Mbak menolak poligami. Katanya Mbak orang berpendidikan, masak tidak mengerti kalau poligami itu bagian hukum Islam. Jadi siapapun yang mengaku muslim harus menerimanya, kan? Jika tidak, berarti diragukan keimanannya."
"Maaf ya, saya tidak menentang poligami. Ga usah khotbah tentang iman di sini. Wanita yang punya iman tak akan nikung suami orang pake modus poligami. Kasihan poligaminya jadi dibenci. Ini lebih pantas disebut pengkhianatan. Wanita mana yang sanggup membangun rumah tangga di atas pengkhianatan semacam ini? Kau..! Puas sekarang? Silakan miliki laki-laki itu sendiri. Aku tak akan sudi berbagi laki-laki yang sudah tercemar wanita murahan sepertimu!"
-+-+-+-+
Jiwa Syafa tersungkur di atas sajadah saat mengingat penggalan peristiwa itu.
"Astaghfrullohal'adzim.... Astaghfirullohal'adzim...."
Hanya ucapan istighfar yang keluar dari lisannya. Setiap mengingat peristiwa pahit itu air matanya terus meleleh. Dulu ia menangis karena hatinya merasa teriris. Kini, ia tersedu karena malu. Bagaimana mungkin dulu ia begitu egois dan emosional. Menghardik orang dengan kerasnya. Bicara nada tinggi dan ngegas juga.
Seolah, hancurnya kehidupan rumah tangganya hanya karena mantan suaminya yang tak setia. Juga karena datangnya janda penggoda. Sementara dirinya, merasa benar, bebas dari kekurangan.
Namun, kini Syafa telah menyadari, bahwa dirinya dulu juga ikut andil menjadikan rumah tangganya hancur berkeping-keping. Dahulu, ia terlalu disibukkan dengan karir. Mengejar berbagai perlombaan bergengsi untuk semakin menunjukkan eksistensi diri. Akhirnya suami kurang terperhatikan. Terperosoklah pada perhatian dari yang lainnya.
Setelah mampu berdamai dengan dirinya atas kenangan kelam itu, masih dengan mata berkaca-kaca, Syafa kembali melantunkan doanya.
"Ya Rabbi, Kini Engkau hadapkan hamba kembali pada pilihan untuk menerima dipoligami atau tidak. Hanya satu yang hamba pinta Ya Rabb, jika ini memang jalan yang telah Engkau takdirkan... Maka, beri hamba kekuatan untuk menjalaninya."
Tiba-tiba terdengar pintu kamar terbuka.
"Bunda... Bunda dimana?"
Rupanya Kahfi terbangun dari tidurnya. Kahfi pun segera menemukan Syafa di kamarnya dan langsung merebahkan kepalanya di atas pangkuan Syafa.
"Bunda kok menangis?"
"Ndak sayang, ada semut lewat. Kenapa adik bangun?"
"Kahfi mimpi ketemu ayah. Ayah kenapa sekarang tak pernah ajak Kahfi jalan-jalan lagi?"
"Sabar ya Sayang, nanti kalau ada rezeki, Kahfi bunda ajak lihat gajah ke kebun binatang."
Syafa menyadari, Kahfi rindu hadirnya sosok seorang bapak. Maka tak luput dari doanya, agar diberikan jodoh yang juga mampu menjadi ayah yang bijak untuk kedua anaknya.
***
Rahman, ustaz Imam dan beberapa pengusaha yang tergabung dalam komunitas masyarakat tanpa riba pagi ini meluncur ke Surabaya. Mereka hendak mengikuti seminar internasional dengan tema, "Sukses Mengembangkan Harta Tanpa Riba."
Rahman yang sedari tadi menahan rasa ingin tahunya tentang kabar tawaran ta'arufnya kini merasa mendapat kesempatan yang pas. Waktu istirahat, salat dan makan telah tiba. Kali ini Rahman bisa bicara empat mata saja meski di tengah keramaian peserta lainnya.
"Gimana Ustaz, apakah Syafa sudah dihubungi Bu Nisa?"
"Ya, sudah. Begitu Nak Rahman kasih keputusan memilih ta'aruf dengan Syafa, saya langsung kabari istri. Sorenya Syafa ketemuan dengan istri."
"Gimana responnya, Ustaz?"
"Wah saya belum sempat membahas soal itu. Intinya Syafa minta waktu karena perlu bicara dulu dengan keluarganya. Sabar ya Nak Rahman. Baru kemarin sore juga."
Tangan ustaz Imam menepuk bahu Rahman pelan serta tersenyum geli. Seperti memperlakukan anak kecil yang tak sabar dibelikan permen lolipop kesukaannya.
Rahman pun akhirnya salah tingkah. Malu sebenarnya sama umur. Tapi apa mau dikata. Hatinya dag dig dug tak kuasa menanti kabar bahagia tiba.
***
Di akhir pekan Syafa meluangkan waktu untuk mengasah kemampuan memasaknya. Dulu ia tak tahu apa-apa tentang seluk beluk dapur. Kini ia sudah bisa membedakan mana kencur, jahe, lengkuas, kunci dan kunyit.
Setelah selesai mengeksekusi sate kerang, sayur klentang dan tahu tempe goreng, Syafa segera mengajak anak-anaknya sarapan pagi.
Gawai yang diletakkan di atas meja makan bergetar. Ada panggilan dari ibunya.
"Wa'alaikumussalam. Inggih Bu..."
Ternyata bu Halimah besok pagi mendadak akan pergi ke Malang menjenguk besannya yang sakit. Maka, rencana mengundang Rahman hari Ahad sore diurungkan. Bu Halimah memberi opsi diajukan nanti malam.
***
Gawai ustaz Imam bergetar. Bu Nisa mengirim pesan via whatsapp.
[Bi, ada pesan dari Syafa. Rahman diundang ke rumahnya nanti malam. Tolong segera konfirmasi bisa tidaknya]
Ustaz Imam pun membalas.
[Ya]
[Oya Bi, karena nanti sore umi ada kajian tafsir, dalem kirimi nomor HP Syafa mawon inggih. Biar nanti mudah komunikasinya. Tadi umi juga sudah minta izin ke Syafa]
[Ok]
Disampaikannya kepada Rahman kabar tersebut. Ustaz Imam memberi saran agar dipenuhi undangan dari keluarganya Syafa. Kebaikan harus disegerakan. Begitulah prinsip yang ustaz Imam pegang.
***
HRV putih itu tepat parkir di pinggir jalan di depan rumah dengan luas halamannya 10 x 5 m. Ustaz Imam sebelumnya telah mendapat kiriman gambar rumah Syafa tampak dari depan. Berbekal aplikasi google map, sampailah mereka pada tepat pukul 18.15 WIB.
"Assalamu'alaikum..."
Bu Halimah segera keluar mendatangi sumber suara salam.
"Apa benar ini rumah Bu Syafa Salsabila?"
Ustaz Imam memastikan kembali alamatnya tepat meski 99% sudah yakin benar.
Mengetahui orang yang datang adalah tamu yang sudah dinanti kehadirannya, bu Halimah pun langsung mempersilakan keduanya duduk.
Rahman segera menyerahkan bingkisan buah sebagai gawan atas kunjungannya. Sebuah hamper yang cukup istimewa karena berhiaskan mawar merah marun dan krisan putih. Perpaduan yang cantik.
Bu Halimah, Rahman dan ustaz Imam saling memperkenalkan diri sebagai pembuka pembicaraan.
Tak lama kemudian Syafa keluar dengan tiga gelas teh hangat dan sepiring pisang goreng yang masih tercium aromanya, tanda baru diangkat dari penggorengan. Kemudian Syafa pun ikut duduk di sebelah ibunya.
"Monggo dipun unjuk. Maaf seadanya, " Bu Halimah mempersilakan tamunya.
Rahman dan ustaz Imam pun segera meneguk teh buatan Syafa. Setelah dirasa cukup bincang-bincang perkenalan diri. Akhirnya ustaz Imam menyampaikan niat kedatangannya. Menceritakan kronologi ceritanya dari awal hingga malam ini.
"Saya pribadi terserah Syafa ya Nak Rahman. Tiap hari juga saya doakan agar ditemukan jodoh terbaiknya. Ibu ini juga tidak tenang, kalau Syafa belum punya imam. Tentang Nak Rahman yang sudah berkeluarga, asal istri pertamanya sudah rida, maka tidak masalah. Sebab di keluarga besar kami pun ada yang berpoligami."
Respon ibunya Syafa di luar dugaan. Ternyata bu Halimah mempunyai wawasan yang cukup tentang poligami. Sehingga dia tidak langsung antipati.
"Matur nuwun ingkang katah, Bu atas ijinnya. Mohon do'anya, niatan saya untuk menjadikan Syafa sebagai ibu dari anak-anak saya diberi kemudahan."
Syafa yang sedari tadi hanya menundukkan pandangannya, begitu mendengar kalimat itu seketika spontan melihat ke arah Rahman. Tak dinyana Rahman pun memandang ke arahnya. Maka tatapan netra keduanya sempat beradu untuk sekian detik. Jantung Syafa berdegub lebih kencang. Bibirnya sempat terbuka saking kagetnya. Namun kemudian ia segera memalingkan pandangannya. Kerudung warna merah marun semakin mempertegas meronanya pipi Syafa malam itu.
Rahman merasa bersyukur dalam hati. Perempuan yang ada di hadapannya, meski seorang janda, tapi rasa malunya masih terjaga. Begini rasanya mencari jodoh lewat pengajian. Ada kesakralan yang tak akan didapat jika mencarinya di tempat hiburan.
Setelah pembicaraan malam itu dinilai cukup, Ustaz Imam dan Rahman izin undur diri. Tak lupa Rahman meninggalkan kartu nama yang di dalamnya tertera alamat rumah dan nomor telepon seluler. Bu Halimah dan Syafa mengantar kepergian mereka hingga tak tampak mata.
...
Bersambung
#KeluargakuIstanaku
#KeluargaBesarWCWH
#DakwahCerbung