Assalaamu'alaikum para ustadz anggota komunitas Merapi yg dirahmati Allah, Alhamdulillah di Senin pagi yg penuh semangat ini kita dipertemukan kembali utk membahas kajian dengan topik kesehatan.
Tak lupa kita berharap kepada Allah, semoga semua hal yg kita kaji akan memberi manfaat yang besar dan barokah untuk kehidupan kita, Aamiin.
Dari Kisah Perang Candu Hingga Ancaman Proxywar.
Bercermin pada masa lampau, adalah negeri Cina tempat sangat subur dalam penyebaran candu di dunia. Hingga memasuki abad ke XVII masalah candu menjelma masalah nasional bagi Cina. Bahkan sejarah mencatat Perang Candu atau Perang Anglo-Cina, secara sengit berlangsung antara tahun 1839 – 1842 dan berlanjut pada tahun 1856 – 1860 sebagai klimaks dari sengketa perdagangan antara Cina dibawah Dinasti Qing dengan Britania Raya. Sebuah konflik kepentingan, bisnis penyelundupan opium Britania dari India ke Tiongkok dan usaha pemerintah Tiongkok menerapkan hukum obat-obatannya, lalu berujung pada konflik militer. Walhasil, Cina kalah dalam perang tersebut. Melalui penandatanganan Perjanjian Nanjing dan Perjanjian Tianjin, Hong Kong diserahkan kepada Britania Raya.
Awal mula sebenarnya keberadaan candu dan sebangsanya ditujukan pada keperluan pengobatan semata. Seorang Kaisar Cina bernama Shennong Bencaojing, sekira tahun 2737 SM, menulis sebuah naskah farmasi, Shen-nung Pen-tsao Ching, (Great Herbal = ramuan hebat) didalamnya menyebutkan sebuah ramuan yang diyakini dapat mengantarkan pada keadaan senang, obat lemah badan, malaria, rematik, dan anti sakit (analgesik). Ramuan tersebut kemudian dikenal dengan istilah liberator of sin atau delight giver (pemberi kesenangan).
Demikian pula pada tahun 800 SM di India, sejenis opium diramu menjadi the heavenly guide, digunakan oleh masyarakat sebagai pemberi kesenangan (fly) dan juga sebagai analgesik.
Sejarah berlanjut pada tahun 1806, dari penemuan seorang dokter dari Westphalia bernama Friedrich Wilhelim sertuner, berhasil modifikasi candu yang dicampur amoniak. Lazim kini orang mengenalnya dengan sebutani Morphin. Morphin diambil dari nama dewa mimpi Yunani yang bernama Morphius.
Adalah Alder Wright dari London, seorang ahli kimia pada tahun 1874, merebus cairan Morphin dengan Asam Anhidrat, cairan asam yang diambilnya dari sejenis jamur. Pada tahun 1898, pabrik obat Bayer mulai memproduksi obat tersebut dengan nama Heroin diindikasikan sebagai penghilang sakit.
Selain morphin & heroin adapula jenis lain yaitu Kokain (ery throxylor coca) berasal dari tumbuhan coca yang tumbuh di Peru dan Bolavia. Dulunya, Kokain biasa digunakan untuk penyembuhan Asma dan TBC.
Hanya saja, sebagaimana yang telah disebutkan diatas, bahwa penggunaanya yang tanpa kontrol justeru berakibat pada “kemudharatan” bagi penggunanya. Bahkan seiring perkembangan zaman, penggunaan obat obatan jenis Narkotika dan Psikotropika semakin digunakansalah, bukan lagi dalam cakupan dunia pengobatan semata.
Penggunaansalah obat obatan golongan Narkotika dan Psikotropika kini bergeser ke ranah bisnis yang menggiurkan, menyasar kalangan masyarakat yang tertular penyakit hedonis, dunia hura hura yang sejatinya hanya kesenangan pura pura.
Bisnis narkoba seakan menjadi industri tersendiri yang berdiri kokoh, tumbuh bak raksasa, berpacu dengan upaya pengontrolan penguasa yang terkesan lamban dan kalah langkah. Disaat bersamaan, kriminalitas meningkat sebagai efek domino mentalitas sebagian masyarakat yang telah teracuni akal sehat dan nalar warasnya oleh produk produk industri candu. Satu paket tak terpisahkan dengan parahnya paradigma kebebasan yang dipuja kaum liberal yang menghambakan hidupnya pada kebebasan perilaku termasuk pada persoalan pergaulan dan seks bebas.
Proxywar
Layaknya sebuah proxywar, sebuah design perang tanpa senjata sedang dijalankan pihak pihak tertentu untuk menghancurkan Indonesia. Setidaknya ada 72 jaringan internasional yang mengepung Indonesia saat ini, antara lain melalui Afrika Barat, Iran, Cina – Tiongkok, Pakistan, Malaysia, Singapura, Philipina, dan termasuk jaringan Indonesia sendiri.
Meminjam Tesis Peter Dale Scott, Perang Candu bukan sekedar alternatif strategi tapi merupakan strategi inti. Artinya entah hard power (aksi-aksi militer) ataupun smart power (gerakan asimetris/non militer), bahkan Perang Candu itu sendiri dapat berjalan masing-masing, serentak, atau bergantian dengan intensitas berbeda.
Jika ini benar adanya, dengan semakin menggilanya industri candu, suatu saat akan ditemukan kondisi penduduk atau rakyat yang tak lagi punya semangat juang, lemah daya tempurnya serta tak memiliki daya lawan atas penjajahan di negeri sendiri [ ].
Aulia Yahya, Apt (Pengurus Ikatan Apoteker Indonesia IAI Sulsel, Anggota HELP-S)
.
Tak lupa kita berharap kepada Allah, semoga semua hal yg kita kaji akan memberi manfaat yang besar dan barokah untuk kehidupan kita, Aamiin.
Dari Kisah Perang Candu Hingga Ancaman Proxywar.
Bercermin pada masa lampau, adalah negeri Cina tempat sangat subur dalam penyebaran candu di dunia. Hingga memasuki abad ke XVII masalah candu menjelma masalah nasional bagi Cina. Bahkan sejarah mencatat Perang Candu atau Perang Anglo-Cina, secara sengit berlangsung antara tahun 1839 – 1842 dan berlanjut pada tahun 1856 – 1860 sebagai klimaks dari sengketa perdagangan antara Cina dibawah Dinasti Qing dengan Britania Raya. Sebuah konflik kepentingan, bisnis penyelundupan opium Britania dari India ke Tiongkok dan usaha pemerintah Tiongkok menerapkan hukum obat-obatannya, lalu berujung pada konflik militer. Walhasil, Cina kalah dalam perang tersebut. Melalui penandatanganan Perjanjian Nanjing dan Perjanjian Tianjin, Hong Kong diserahkan kepada Britania Raya.
Awal mula sebenarnya keberadaan candu dan sebangsanya ditujukan pada keperluan pengobatan semata. Seorang Kaisar Cina bernama Shennong Bencaojing, sekira tahun 2737 SM, menulis sebuah naskah farmasi, Shen-nung Pen-tsao Ching, (Great Herbal = ramuan hebat) didalamnya menyebutkan sebuah ramuan yang diyakini dapat mengantarkan pada keadaan senang, obat lemah badan, malaria, rematik, dan anti sakit (analgesik). Ramuan tersebut kemudian dikenal dengan istilah liberator of sin atau delight giver (pemberi kesenangan).
Demikian pula pada tahun 800 SM di India, sejenis opium diramu menjadi the heavenly guide, digunakan oleh masyarakat sebagai pemberi kesenangan (fly) dan juga sebagai analgesik.
Sejarah berlanjut pada tahun 1806, dari penemuan seorang dokter dari Westphalia bernama Friedrich Wilhelim sertuner, berhasil modifikasi candu yang dicampur amoniak. Lazim kini orang mengenalnya dengan sebutani Morphin. Morphin diambil dari nama dewa mimpi Yunani yang bernama Morphius.
Adalah Alder Wright dari London, seorang ahli kimia pada tahun 1874, merebus cairan Morphin dengan Asam Anhidrat, cairan asam yang diambilnya dari sejenis jamur. Pada tahun 1898, pabrik obat Bayer mulai memproduksi obat tersebut dengan nama Heroin diindikasikan sebagai penghilang sakit.
Selain morphin & heroin adapula jenis lain yaitu Kokain (ery throxylor coca) berasal dari tumbuhan coca yang tumbuh di Peru dan Bolavia. Dulunya, Kokain biasa digunakan untuk penyembuhan Asma dan TBC.
Hanya saja, sebagaimana yang telah disebutkan diatas, bahwa penggunaanya yang tanpa kontrol justeru berakibat pada “kemudharatan” bagi penggunanya. Bahkan seiring perkembangan zaman, penggunaan obat obatan jenis Narkotika dan Psikotropika semakin digunakansalah, bukan lagi dalam cakupan dunia pengobatan semata.
Penggunaansalah obat obatan golongan Narkotika dan Psikotropika kini bergeser ke ranah bisnis yang menggiurkan, menyasar kalangan masyarakat yang tertular penyakit hedonis, dunia hura hura yang sejatinya hanya kesenangan pura pura.
Bisnis narkoba seakan menjadi industri tersendiri yang berdiri kokoh, tumbuh bak raksasa, berpacu dengan upaya pengontrolan penguasa yang terkesan lamban dan kalah langkah. Disaat bersamaan, kriminalitas meningkat sebagai efek domino mentalitas sebagian masyarakat yang telah teracuni akal sehat dan nalar warasnya oleh produk produk industri candu. Satu paket tak terpisahkan dengan parahnya paradigma kebebasan yang dipuja kaum liberal yang menghambakan hidupnya pada kebebasan perilaku termasuk pada persoalan pergaulan dan seks bebas.
Proxywar
Layaknya sebuah proxywar, sebuah design perang tanpa senjata sedang dijalankan pihak pihak tertentu untuk menghancurkan Indonesia. Setidaknya ada 72 jaringan internasional yang mengepung Indonesia saat ini, antara lain melalui Afrika Barat, Iran, Cina – Tiongkok, Pakistan, Malaysia, Singapura, Philipina, dan termasuk jaringan Indonesia sendiri.
Meminjam Tesis Peter Dale Scott, Perang Candu bukan sekedar alternatif strategi tapi merupakan strategi inti. Artinya entah hard power (aksi-aksi militer) ataupun smart power (gerakan asimetris/non militer), bahkan Perang Candu itu sendiri dapat berjalan masing-masing, serentak, atau bergantian dengan intensitas berbeda.
Jika ini benar adanya, dengan semakin menggilanya industri candu, suatu saat akan ditemukan kondisi penduduk atau rakyat yang tak lagi punya semangat juang, lemah daya tempurnya serta tak memiliki daya lawan atas penjajahan di negeri sendiri [ ].
Aulia Yahya, Apt (Pengurus Ikatan Apoteker Indonesia IAI Sulsel, Anggota HELP-S)
.
Posting Komentar