Sumber: Suara Karya, 10 Oktober 2004
Waktu keberangkatan pesawat terbang yang akan saya tumpangi
menuju sebuah kota di mancanegara, ditunda dua jam. Seorang ibu
bertubuh sintal mengomel karena ia pasti terlambat menghadiri upacara
wisuda anaknya di kota yang kami tuju itu. Seorang lelaki setengah baya
yang tak putus-putusnya merokok selama menunggu waktu keberangkatan
memukul keningnya. "Aduh, jadwal yang sudah disusun jadi berantakan,"
katanya setengah berteriak.
Berbagai komentar sebagai reaksi atas keterlambatan
keberangkatan itu terlontar dari hampir setiap mulut calon penumpang
yang akan berangkat. Saya yang merasa tidak perlu menambah carutmarut
seperti itu melangkah ke restoran yang tidak jauh dari ruang tunggu. Beberapa calon penumpang lain juga mulai melangkah meninggalkan ruang
tunggu itu.
Di restoran itu saya hanya memesan secangkir kopi dan sepotong croissant.
Saya memilih duduk di pojok agar dapat membaca buku yang baru
saya beli dengan tenang. Saya tenggelam dalam kisah yang dituturkan
Gabniel Garcia Marquez pada buku tipis terbitan Penguin itu.
Belum setengah jam dengan keasyikan itu seseorang menghampiri saya
dan menarik kursi di depan saya. Saya menoleh ke arahnya. Ia
mengulurkan tangan sambil menyebut namanya. Saya menyambut uluran
tangannya dengan menyebut nama saya.
"Perjalanan bisnis?" orang bernama Iskandar Zulkarnain itu bertanya.
"Oh, bukan. Seminar,"
Ia mengangguk. Setelah mengeluarkan sebungkus rokok Marlboro dari
saku jasnya, ia menawarkan sebatang rokoknya kepada saya. Saya
menolak dengan mengucapkan terima kasih.
"Anda tahu mengapa Anda yang saya datangi, bukan yang lain-lain
itu?" ia bertanya sambil mengarahkan ibu jarinya kepada calon penumpang
lain yang juga banyak di restoran itu.
Saya menggeleng.
"Karena itu," ujarnya sambil menunjuk buku tipis yang saya pegang.
"Dari tadi saya lihat Anda tekun membaca di ruang tunggu itu. Anda orang
yang tahu menghargai waktu. Dan serius. Maaf, saya mengganggu
keasyikan Anda karena memilih duduk di sini. Silakan terus membaca,"
tuturnya sambil membungkuk mengeluarkan sebuah majalah berbahasa
Inggris dari tas yang dibawanya.
Setelah membalik-balik beberapa halaman majalah itu, ia menyandar
dan mulai membaca. Saya kembali membaca cerita karangan Marquez
sambil sesekali meliriknya. Melihat jas yang dikenakannya dan majalah
yang dibacanya, saya merasa lelaki berusia sekitar 45 tahun ini adalah
seorang pengusaha. Orang-orang bisnis biasanya sangat mementingkan
penampilan seperti itu di samping hanya tertarik pada majalah bisnis.
Ketika ia menoleh ke arah saya, kebetulan saya sedang mengangkat
cangkir kopi. Dengan santun saya mengajaknya minum. Ia baru sadar
bahwa ia belum memesan apa-apa. Dengan isyarat, ia memanggil pelayan
dan memesan segelas cappucino, yang lima menit kemudian diletakkan oleh pelayan di depannya. Ia segera menyeruput minuman hangat itu.
Setelah itu ia kembali membaca majalahnya. Kalau tadi ia mengatakan
bahwa saya sangat menghargai waktu, kini saya pun beranggapan begitu
tentang dirinya. Ia lebih suka membaca daripada berbicara dengan saya.
Dan serius, seperti tadi ia menilai saya.
Apakah hanya karena persamaan itu ia memilih duduk di dekat saya
di restoran ini? Ataukah keasyikannya membaca itu hanya pretensi dan
merupakan pengantar ke arah tujuan yang sebenarnya? Saya tidak berani
mengambil kesimpulan apa pun.
Satu jam berlalu dan kami belum saling mengenal lebih jauh. Setelah
membaca tiga fiksi pendek dari kumpulan cerpen Garcia Marquez, saya
menutup buku tipis itu dan meletakkannya di meja samping cangkir kopi.
Pada waktu yang hampir bersamaan ia menutup majalahnya dan
memasukkannya kembali ke dalam tasnya.
"Marquez," katanya. "Saya suka juga dia. Cuma saya lebih sering
membaca Ortega Y Gasset dan Pablo Neruda. Karya-karya dari Ameria
Latin memang dekat dengan kita. Semangatnya sama, maklum dari dunia
ketiga," ujarnya melanjutkan.
Saya menyambut kata-katanya dengan tersenyum. Rupanya ia juga
suka membaca karya sastra. Dugaan saya bahwa ia hanya gemar membaca
yang ada kaitannya dengan bisnis saja ternyata meleset.
"Cuma ke London?" ia bertanya.
Saya mengangguk.
"Saya harus ke beberapa kota. London, Paris, Zurich, dan Wina.
Sebenarnya saya sudah capek mondar-mandir begini, tapi Bos tetap juga
menyuruh saya,".
Ini orang penting, ujar saya dalam hati. Paling tidak orang kepercayaan
atasan. Berhadapan dengan orang seperti ini saya lebih suka mendengar
daripada berbicara.
"Sebagai frequent traveller saya suka menggunakan pelayanan
perusahaan penerbangan yang berbeda. Nah, baru kali ini jadwal
keberangkatan tertunda. Saya tidak akan mau lagi naik pesawat perusahaan
ini. Buang waktu," tuturnya melontarkan kekesalannya.
Setelah sekali lagi menyeruput cappucino di depannya, ia bercerita
tentang dirinya tanpa saya minta. Ia bekerja di sebuah bank asing di Jakarta dengan kantor pusat di London. Semula ia bertugas sebagai kepala
departemen sumberdaya, kemudian dipindahkan ke bagian kredit, dan
terakhir memegang jabatan kepala bagian valuta asing. Nah, ketika bertugas
di bagian terakhir inilah ia sering bepergian ke mancanegara. Saya percaya
saja karena saya memang tidak tahu apa-apa tentang dunia perbankan.
Semula ia tidak tertarik bekerja di bank, tapi karena lamarannya ditolak
di beberapa tempat, akhirnya ia melamar ke bank tempatnya bekerja
sekarang. Karena ia lulus tes dan bahasa Inggrisnya bagus, ia diterima
dengan gaji awal yang lumayan. Belakangan, karena ia telah akrab dengan
dunia perbankan, ia merasa bahagia bekerja di bank asing itu.
Iskandar Zulkarnain yang berputri dua orang dan keduanya duduk di
SMA itu tak sempat menyudahi riwayatnya karena panggilan terdengar
melalui pengeras suara di restoran agar semua penumpang segera kembali
ke ruang tunggu karena pesawat sebentar lagi akan tinggal landas.
* * *
Setelah beberapa jam terbang saya terbangun. Saya adalah penumpang
yang senantiasa tertidur dalam setiap kali perjalanan dengan menggunakan
pesawat terbang, betapapun singkat jarak terbang itu.
"Nyenyak sekali tidurnya," suara Iskandar Zulkarnain terdengar dari
kursi belakang. Saya menoleh ke arahnya.
"Sejak dua jam lalu saya pindah ke kursi ini," katanya. "Maksudnya
mau melanjutkan obrolan, eh, ternyata Anda tidur," lanjutnya sambil
terkekeh. Ia bisa pindah tempat seperti itu karena belasan kursi penumpang
memang kosong.
Ternyata orang itu benar-benar tidak menghargai waktu, pikir saya.
Dalam perjalanan sejauh ini ia masih saja ingin mengobrol. Dan ia masih
saja duduk di kursi belakang itu walaupun ia tahu di sebelah saya ada
penumpang lain dan obrolan tidak mungkin dilakukan.
Tiba-tiba penumpang di sebelah saya menawarkan diri untuk pindah
ke tempat Iskandar jika Iskandar memang ingin mengobrol dengan saya.
Celakanya, tawaran itu diterima Iskandar. Saya tidak mungkin
menyelamatkan diri lagi.
Ketika ia mulai berbicara lagi kantuk saya datang menyerang. Ceritanya sampai ke telinga saya antara terdengar dengan tidak. Mata saya tiba-tiba
terbelalak ketika ia mengatakan di kursi belakang di tempatnya semula
duduk ada beberapa orang asing yang mencurigakan.
"Jangan-jangan mereka pembajak," katanya.
Jantung saya berdebar keras.
"Sebagai aparat keamanan, tentunya Anda tahu bagaimana mengatasi
keadaan seandainya mereka jadi melakukan pembajakan atau bagaimana
mencegah jangan sampai pembajakan itu terjadi," tuturnya dengan berbisik.
Saya menatapnya dengan perasaan heran. Aparat keamanan? Mengapa
ia menduga saya aparat keamanan? Apakah karena itu ia sejak di pelabuhan
udara tadi senantiasa ingin berada di dekat saya? Saya menggeleng karena
tidak percaya kepada pendengaran saya dan sekaligus membantah
dugaannya.
"Coba Anda pura-pura ke belakang dan amati mereka, barangkali
dugaan saya benar."
"Saya bukan aparat keamanan," jawab saya singkat karena saya
keberatan dengan desakannya itu.
"Demi keselamatan semua penumpang, Anda harus berbuat sesuatu.
Cobalah ke belakang dan amati mereka," katanya sambil menarik lengan
saya.
"Saya bukan aparat keamanan," ujar saya agak keras.
"Cobalah," sahutnya tanpa mempedulikan penjelasan saya.
Entah apa yang mendorong saya, permintaannya saya penuhi. Saya
melangkah ke jajaran kursi belakang pura-pura ingin ke toilet sambil
memperhatikan penumpang di setiap kursi yang saya lewati. Dua
penumpang kulit putih terdengar berdebat sambil berbisik
memperbincangkan sesuatu pada sebuah peta. Karena jarak kursi mereka
dengan toilet hanya satu meter dan mereka berbahasa Inggris, saya
menangkap sekilas pembicaraan mereka.
Keterlambatan pesawat, menurut yang seorang, membuat mereka tak
mungkin mencapai kota yang tertera pada peta itu seperti yang
direncanakan. Sementara yang seorang lagi dengan yakin mengatakan
mereka akan tiba di kota itu walaupun kecepatan mobil yang mereka
kendarai hanya 50 mil per jam.
Setelah masuk ke toilet sebentar dan keluar, saya melangkah ke kursi
saya dengan perasaan lega. Iskandar Zulkarnain si pengecut itu telah
mendramatisasi keadaan secara berlebihan. Akhirnya, ia sendiri yang
ketakutan. Karena itu, begitu saya duduk ia segera menyambut saya dengan
pertanyaan beruntun.
"Apa yang harus saya lakukan? Mungkinkah kita menyelamatkan diri?
Apakah tidak perlu pilot segera kita beritahu?" Saya memandang wajahnya
yang ketakutan itu dengan tenang.
"Jangan khawatir," jawab saya. "Mereka baru akan melakukan
pembajakan dalam penerbangan dari London ke Paris, bukan sekarang."
Mendengar kata-kata saya, ia menarik napas lega dan mengelus
dadanya.
"Alhamdulillah," ucapnya pelan.
Setelah menyandar ke kursi, mulutnya komat-kamit berdoa. Baru
setelah itu ia memandang saya dengan wajah berseri.
"Bung," katanya. "Saya capek mondar-mandir ke mancanegara seperti
ini bukan karena jaraknya yang jauh. Tapi karena rasa takut yang
menyerang saya setiap kali naik pesawat. Ketakutan itu terus menghantui
saya. Karena itu, saya selalu mencari teman mengobrol selama penerbangan
berapa lama pun penerbangan itu. Tadi, sebelum saya pindah ke kursi ini
saya mengobrol terus dengan penumpang di sebelah saya. Karena ia
mengantuk dan tertidur, saya harus mencari teman lain, karena itu saya
pindah ke kursi belakang tadi. Selama menunggu Anda bangun, rasa takut
saya itu menjadi-jadi, terutama ketika tadi mendengar orang asing itu
berbisik-bisik terus tak henti-hentinya, membuka tas, mengambil kertas
lalu berbisik-bisik lagi."
"Apa yang Anda takutkan?" saya bertanya.
"Saya takut kalau pesawat ini mengalami kecelakaan, mendarat darurat
atau dibajak oleh teroris dan diledakkan. Perasaan seperti itu terus
menghantui saya setiap kali naik pesawat terbang, termasuk sekarang ini."
Saya terdiam. Lama saya berpikir. Perasaan itu mungkin mulai
menghantuinya begitu ia menginjakkan kaki di pelabuhan udara. Karena
itu, sejak di sana ia mulai mencari teman untuk membunuh rasa takut itu.
Hal yang sama juga mungkin dilakukannya begitu memasuki pesawat.
Saya yakin ia sebenarnya tahu bahwa saya bukan aparat keamanan dan saya yakin ia juga tahu bahwa pembajakan akan dilakukan antara London
dan Paris seperti yang saya katakan tadi hanyalah omong kosong. Tapi,
itu sudah cukup untuk menenteramkan hatinya.
Saya memandangnya. Ia menyandar sambil menutup mata. Saya tahu
ia hanya pura-pura saja tidur karena tangannya memegang erat lengan
kiri saya. Saya menutup mata. Sebelum tertidur saya telah mengambil
keputusan. Ketika akan berpisah di pelabuhan udara London nanti,
kepadanya akan saya berikan kartu nama saya. Ia dapat menemui saya
pada jam saya berpraktek sore hari. Sebagai tanda persahabatan, saya akan
membebaskannya dari biaya konsultasi. Berdasarkan pengalaman, saya
tidak merasa ragu sedikit pun bahwa pasien yang saya temui di perjalanan
ini dapat disembuhkan.
***
Setelah membaca cerpen tersebut, jawablah pertanyaan-pertanyaan
berikut ini!
a. Siapa para pelaku dalam cerpen?
b. Bagaimana watak para pelakunya?
c. Masalah apa yang dihadapi para pelaku dalam cerpen?
d. Bagaimana para pelaku dalam cerpen mengatasi masalah yang
dihadapinya?
e. Apa kira-kira alasan pelaku dalam cerpen menempuh cara itu dalam
menghadapi masalah yang dihadapi?
f. Apakah yang menarik dari cerpen itu?
Posting Komentar