Kang Dasrip kecewa dan agak bingung. Anaknya, Daroji, yang belum sembuh karena dikhitan kemarin, kini sudah mulai menagih. Sebelum hajat khitanan ini, ia memang berjanji kepada anaknya akan membelikan radio merek Philips seperti kepunyaan Wak Haji Kolik. Tapi mana bisa. Perhitungannya ternyata meleset. Ia bukannya mendapat laba dengan hajat ini, malah rugi. Undangan-undangan itu ternyata banyak yang kurang ajar
Coba pikir. Perhitungan Kang Dasrip sebenarnya bisa dibilang matang. Ia keluarkan biaya sedikit mungkin untuk hajat khitanan anaknya ini. Ia tidak bikin tarop di depan rumahnya karena akan menghabiskan banyak bambu dan sesek, melainkan cukup membuka gedek bagian depan rumahnya. Dengan demikian, beranda dan ruang depan rumahnya menjadi tersambung dan bisa dijadikan tempat upacara khitanan. Ia tidak pakai acara macem-macem. Cukup panggil calak, tukang khitan, dengan bayaran dua ribu rupiah. Kemudian tak usah nanggap wayang atau ketoprak, ludruk. Dengan nanggap tip, maka lagu-lagu dangdut atau kasidahan atau apa saja bisa asal ada kasetnya.
Semua biayanya cukup tiga ribu rupiah, untuk waktu sehari semalam penuh.
Biaya yang tak bisa dielakkan banyaknya ialah untuk suguhan, makan, minuman, dan jajan-jajan serta rokok. Yang diundang tak usah banyak-banyak. Cukup kerabat-kerabat dekat tetapi terutama orang-orang yang dulu pernah mengundangnya ketika berhajat. Kang Dasrip punya catatan berapa banyak ia memberi beras atau uang ketika ia pergi buwuh ke undangan-undangan dulu itu. Jadi berdasarkan jumlah buwuhnya itu, pada acara khitanan anaknya ini, ia yakin pasti memperoleh jumlah yang sama. Bahkan bisa lebih banyak.
Tetapi ternyata mereka banyak yang kurang ajar. Yang dulu ia buwuhi Rp200 sekarang cuma ngasih Rp100. Yang dulu ia kasih beras sekilo, sekarang hanya mbuwuhi setengah kilo.
Bahkan ada yang lebih laknat lagi, datang tanpa bawa apa-apa padahal ikut makan minum. Apa tak kurang ajar. Kang Dasrip misuh-misuh. Ia kira-kira lima belas ribu rupiah. Gagallah ia membelikan radio buat anaknya. Sedangkan si Daroji sudah merengek-rengek.
“Sudahlah, Kang. Tak usah bingung. Kita nunggu sewan tebu sawah kita saja untuk membeli radio itu,” Kata istri Kang Dasrip.
“Kau kira berapa sewan untuk sawah kita?” Kang Dasrip malah kelihatan semakin berang. “Mereka seenaknya sendiri memberi sewa sawah kita untuk ditanami tebu. Ngomongnya saja tebu rakyat! Tapi nyatanya malah memaksa-maksa kita dan tebunya juga punya pabrik! Punya pemerintah!”
Istrinya tak berani membantah. Tapi Kang Dasrip sendiri toh hanya bisa bingung.
“Biarlah nanti aku yang ngomongi Daroji,” kata istrinya
“Ngomong apa! Dia anak kecil!”
“Ya disuruh sabar.”
Kang Dasrip tertawa kecut, ”Sabar sampai kapan?”
“Kita kan bisa usaha.”
“Usaha apa?”
“Soal sewa tebu misalnya, kau kan bisa minta Pak Lurah untuk menaikkan harga sewanya.”
Tawa Kang Dasrip mengeras. “Kau kira lurah kita pahlawan, ya! Dia itu takut sama atasannya. Atasannya itu ada main sama yang ngurus tebu itu. Dan lagi lurah kita pasti juga dapat apaapa.
Dia sudah punya sawah berhektar-hektar, pajak-pajak dari kita tak tahu larinya ke mana, uang pembangunan desa sedikit sekali kita lihat hasilnya, tapi belum pernah merasa puas, dia masih merasa kurang kaya....!”
“Jadi bagaimana?” istrinya nampak sedih.
“Ya, bagaimana! Memangnya bagaimana!” jawab Kang Dasrip.
Tapi ternyata Kang Dasrip punya rencana diam-diam. Ia mengambil sisa-sisa surat undangan, kertas cetakan yang dibelinya di toko dan tinggal mengisi nama yang diundang. Di bagian belakangnya yang kosong ia pergunakan untuk menulis surat. Ternyata ditujukan kepada para undangan yang kurang ajar itu. “Saya dulu mbuwuhi Saudara Rp200 kok sekarang Saudara hanya mengasih Rp100” tulisnya “saya dulu mbuwuhi .....kok sekarang .....” demikian ia tulis sampai 23 surat.
Ketika surat itu selesai diantarnya, ributlah orang desa. Ada yang tertawa, ada yang memaki-maki, yang jelas surat itu dengan cepat menjadi bahan gunjingan bahkan ternyat ada juga yang dikirim ke undangan dari sebelah desa. “Memalukan desa kita!”
Kecam mereka.
Dan akhirnya Kang Dasrip memang tak menikmati apa-apa dari tindakan kebingungannya itu kecuali nama yang memalukan.
Bahkan lebih dari itu, di tengah malam, ia gelisah karena genting rumahnya ada yang melempari berkali-kali. Kang Dasrip naik pitam. Ia keluar rumah dan hendak berlari mengejar pelaku-pelakunya.
Tapi tentu saja ini sia-sia. Malam amat pekat dan lingkungan begitu rimbun untuk ditembus. akhirnya ia masuk kembali dan terengah-engah di kursi. Istrinya ketakutan. Tapi Kang Dasrip berusaha meredakannya. “Mereka itu undangan-undangan yang kurang ajar!” katanya.
Paginya Kang Dasrip berpamitan kepada Daroji akan ke kota untuk beli radio hingga bersukacitalah anak itu. Tapi siangnya Kang Dasrip datang dengan wajah sendu. “Radionya dicopet di pasar, Nak...!” ujarnya. Daroji Menangis. Selesai.
Sumber: kumpulan cerpen Yang Terhormat Nama Saya, oleh Emha Ainun Najib.
Posting Komentar